ANEMIA
A. Pengertian
a Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan komponen darah, elemen tak adekuat atau kurangnya nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah merah, yang mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah (Doenges, 1999).
b Anemia adalah istilah yang menunjukan rendahnya hitungan sel darah merah dan kadar hemoglobin dan hematokrit di bawah normal (Smeltzer, 2002 : 935).
c Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal sel darah merah, kualitas hemoglobin dan volume packed red bloods cells (hematokrit) per 100 ml darah (Price, 2006 : 256).
Dengan demikian anemia bukan merupakan suatu diagnosis atau penyakit, melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh dan perubahan patotisiologis yang mendasar yang diuraikan melalui anemnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan informasi laboratorium.
B. Etiologi
Penyebab tersering dari anemia adalah kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk sintesis eritrosit, antara lain besi, vitamin B12 dan asam folat. Selebihnya merupakan akibat dari beragam kondisi seperti perdarahan, kelainan genetik, penyakit kronik, keracunan obat, dan sebagainya.
Penyebab umum dari anemia:
• Perdarahan hebat
• Akut (mendadak)
• Kecelakaan
• Pembedahan
• Persalinan
• Pecah pembuluh darah
• Penyakit Kronik (menahun)
• Perdarahan hidung
• Wasir (hemoroid)
• Ulkus peptikum
• Kanker atau polip di saluran pencernaan
• Tumor ginjal atau kandung kemih
• Perdarahan menstruasi yang sangat banyak
• Berkurangnya pembentukan sel darah merah
• Kekurangan zat besi
• Kekurangan vitamin B12
• Kekurangan asam folat
• Kekurangan vitamin C
• Penyakit kronik
• Meningkatnya penghancuran sel darah merah
• Pembesaran limpa
• Kerusakan mekanik pada sel darah merah
• Reaksi autoimun terhadap sel darah merah
• Hemoglobinuria nokturnal paroksismal
• Sferositosis herediter
• Elliptositosis herediter
• Kekurangan G6PD
• Penyakit sel sabit
• Penyakit hemoglobin C
• Penyakit hemoglobin S-C
• Penyakit hemoglobin E
• Thalasemia (Burton, 1990).
C. Patofisiologi
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sum-sum tulang atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum tulang dapt terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor, atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui.
Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi) pada kasus yang disebut terakhir, masalah dapat akibat efek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah normal atau akibat beberapa factor diluar sel darah merah yang menyebabkan destruksi sel darah merah.
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam system fagositik atau dalam system retikuloendotelial terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil samping proses ini bilirubin yang sedang terbentuk dalam fagosit akan masuk dalam aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direpleksikan dengan meningkatkan bilirubin plasma (konsentrasi normalnya 1 mg/dl atau kurang ; kadar 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera.
Anemia merupakan penyakit kurang darah yang ditandai rendahnya kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit). Fungsi darah adalah membawa makanan dan oksigen ke seluruh organ tubuh. Jika suplai ini kurang, maka asupan oksigen pun akan kurang. Akibatnya dapat menghambat kerja organ-organ penting, Salah satunya otak. Otak terdiri dari 2,5 miliar sel bioneuron. Jika kapasitasnya kurang, maka otak akan seperti komputer yang memorinya lemah, Lambat menangkap. Dan kalau sudah rusak, tidak bisa diperbaiki (Sjaifoellah, 1998).
D. Manifestasi klinis
Gejala klinis yang muncul merefleksikan gangguan fungsi dari berbagai sistem dalam tubuh antara lain penurunan kinerja fisik, gangguan neurologik (syaraf) yang dimanifestasikan dalam perubahan perilaku, anorexia (badan kurus kerempeng), pica, serta perkembangan kognitif yang abnormal pada anak. Sering pula terjadi abnormalitas pertumbuhan, gangguan fungsi epitel, dan berkurangnya keasaman lambung. Cara mudah mengenal anemia dengan 5L, yakni lemah, letih, lesu, lelah, lalai. Kalau muncul 5 gejala ini, bisa dipastikan seseorang terkena anemia. Gejala lain adalah munculnya sklera (warna pucat pada bagian kelopak mata bawah).
Anemia bisa menyebabkan kelelahan, kelemahan, kurang tenaga dan kepala terasa melayang. Jika anemia bertambah berat, bisa menyebabkan stroke atau serangan jantung(Sjaifoellah, 1998).
E. Komplikasi
Anemia juga menyebabkan daya tahan tubuh berkurang. Akibatnya, penderita anemia akan mudah terkena infeksi. Gampang batuk-pilek, gampang flu, atau gampang terkena infeksi saluran napas, jantung juga menjadi gampang lelah, karena harus memompa darah lebih kuat.
Pada kasus ibu hamil dengan anemia, jika lambat ditangani dan berkelanjutan dapat menyebabkan kematian, dan berisiko bagi janin. Selain bayi lahir dengan berat badan rendah, anemia bisa juga mengganggu perkembangan organ-organ tubuh, termasuk otak (Sjaifoellah, 1998).
F. Pemeriksaan penunjang
a Jumlah darah lengkap (JDL) : hemoglobin dan hemalokrit menurun.
b Jumlah eritrosit : menurun (AP), menurun berat (aplastik); MCV (molume korpuskular rerata) dan MCH (hemoglobin korpuskular merata) menurun dan mikrositik dengan eritrosit hipokronik (DB), peningkatan (AP). Pansitopenia (aplastik).
c Jumlah retikulosit : bervariasi, misal : menurun (AP), meningkat (respons sumsum tulang terhadap kehilangan darah/hemolisis).
d Pewarna sel darah merah : mendeteksi perubahan warna dan bentuk (dapat mengindikasikan tipe khusus anemia).
e LED : Peningkatan menunjukkan adanya reaksi inflamasi, misal : peningkatan kerusakan sel darah merah : atau penyakit malignasi.
f Masa hidup sel darah merah : berguna dalam membedakan diagnosa anemia, misal : pada tipe anemia tertentu, sel darah merah mempunyai waktu hidup lebih pendek.
g Tes kerapuhan eritrosit : menurun (DB).
h SDP : jumlah sel total sama dengan sel darah merah (diferensial) mungkin meningkat (hemolitik) atau menurun (aplastik).
Jumlah trombosit : menurun caplastik; meningkat (DB); normal atau tinggi (hemolitik)
i Hemoglobin elektroforesis : mengidentifikasi tipe struktur hemoglobin.
j Bilirubin serum (tak terkonjugasi): meningkat (AP, hemolitik).
k Folat serum dan vitamin B12 membantu mendiagnosa anemia sehubungan dengan defisiensi masukan/absorpsi
l Besi serum : tak ada (DB); tinggi (hemolitik)
m TBC serum : meningkat (DB)
n Feritin serum : meningkat (DB)
o Masa perdarahan : memanjang (aplastik)
p LDH serum : menurun (DB)
q Tes schilling : penurunan eksresi vitamin B12 urine (AP)
r Guaiak : mungkin positif untuk darah pada urine, feses, dan isi gaster, menunjukkan perdarahan akut / kronis (DB).
s Analisa gaster : penurunan sekresi dengan peningkatan pH dan tak adanya asam hidroklorik bebas (AP).
t Aspirasi sumsum tulang/pemeriksaan/biopsi : sel mungkin tampak berubah dalam jumlah, ukuran, dan bentuk, membentuk, membedakan tipe anemia, misal: peningkatan megaloblas (AP), lemak sumsum dengan penurunan sel darah (aplastik).
Pemeriksaan andoskopik dan radiografik : memeriksa sisi perdarahan : perdarahan GI (Doenges, 1999).
G. Penatalaksanaan Medis
Tindakan umum :
Penatalaksanaan anemia ditunjukan untuk mencari penyebab dan mengganti darah yang hilang.
1. Transpalasi sel darah merah.
2. Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi.
3. Suplemen asam folat dapat merangsang pembentukan sel darah merah
4. Menghindari situasi kekurangan oksigen atau aktivitas yang membutuhkan oksigen
5. Obati penyebab perdarahan abnormal bila ada.
6. Diet kaya besi yang mengandung daging dan sayuran hijau.
Pengobatan (untuk pengobatan tergantung dari penyebabnya) :
1. Anemia defisiensi besi
Penatalaksanaan :
Mengatur makanan yang mengandung zat besi, usahakan makanan yang diberikan seperti ikan, daging, telur dan sayur.
Pemberian preparat fe
Perrosulfat 3x 200mg/hari/per oral sehabis makan
Peroglukonat 3x 200 mg/hari /oral sehabis makan.
2. Anemia pernisiosa : pemberian vitamin B12
3. Anemia asam folat : asam folat 5 mg/hari/oral
4. Anemia karena perdarahan : mengatasi perdarahan dan syok dengan pemberian cairan dan transfusi darah.
MANAJEMEN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluru(Boedihartono, 1994).
Pengkajian pasien dengan anemia (Doenges, 1999) meliputi :
1) Aktivitas / istirahat
a Gejala : keletihan, kelemahan, malaise umum. Kehilangan produktivitas ; penurunan semangat untuk bekerja. Toleransi terhadap latihan rendah. Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak.
b Tanda : takikardia/ takipnae ; dispnea pada waktu bekerja atau istirahat. Letargi, menarik diri, apatis, lesu, dan kurang tertarik pada sekitarnya. Kelemahan otot, dan penurunan kekuatan. Ataksia, tubuh tidak tegak. Bahu menurun, postur lunglai, berjalan lambat, dan tanda-tanda lain yang menunujukkan keletihan.
2) Sirkulasi
a Gejala : riwayat kehilangan darah kronik, misalnya perdarahan GI kronis, menstruasi berat (DB), angina, CHF (akibat kerja jantung berlebihan). Riwayat endokarditis infektif kronis. Palpitasi (takikardia kompensasi).
b Tanda : TD : peningkatan sistolik dengan diastolik stabil dan tekanan nadi melebar, hipotensi postural. Disritmia : abnormalitas EKG, depresi segmen ST dan pendataran atau depresi gelombang T; takikardia. Bunyi jantung : murmur sistolik (DB). Ekstremitas (warna) : pucat pada kulit dan membrane mukosa (konjuntiva, mulut, faring, bibir) dan dasar kuku. (catatan: pada pasien kulit hitam, pucat dapat tampak sebagai keabu-abuan). Kulit seperti berlilin, pucat (aplastik, AP) atau kuning lemon terang (AP). Sklera : biru atau putih seperti mutiara (DB). Pengisian kapiler melambat (penurunan aliran darah ke kapiler dan vasokontriksi kompensasi) kuku : mudah patah, berbentuk seperti sendok (koilonikia) (DB). Rambut : kering, mudah putus, menipis, tumbuh uban secara premature (AP).
3) Integritas ego
a Gejala : keyakinanan agama/budaya mempengaruhi pilihan pengobatan, misalnya penolakan transfusi darah.
b Tanda : depresi.
4) Eleminasi
a Gejala : riwayat pielonefritis, gagal ginjal. Flatulen, sindrom malabsorpsi (DB). Hematemesis, feses dengan darah segar, melena. Diare atau konstipasi. Penurunan haluaran urine.
b Tanda : distensi abdomen.
5) Makanan/cairan
a Gejala : penurunan masukan diet, masukan diet protein hewani rendah/masukan produk sereal tinggi (DB). Nyeri mulut atau lidah, kesulitan menelan (ulkus pada faring). Mual/muntah, dyspepsia, anoreksia. Adanya penurunan berat badan. Tidak pernah puas mengunyah atau peka terhadap es, kotoran, tepung jagung, cat, tanah liat, dan sebagainya (DB).
b Tanda : lidah tampak merah daging/halus (AP; defisiensi asam folat dan vitamin B12). Membrane mukosa kering, pucat. Turgor kulit : buruk, kering, tampak kisut/hilang elastisitas (DB). Stomatitis dan glositis (status defisiensi). Bibir : selitis, misalnya inflamasi bibir dengan sudut mulut pecah. (DB).
6) Neurosensori
a Gejala : sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo, tinnitus, ketidak mampuan berkonsentrasi. Insomnia, penurunan penglihatan, dan bayangan pada mata. Kelemahan, keseimbangan buruk, kaki goyah ; parestesia tangan/kaki (AP) ; klaudikasi. Sensasi manjadi dingin.
b Tanda : peka rangsang, gelisah, depresi cenderung tidur, apatis. Mental : tak mampu berespons, lambat dan dangkal. Oftalmik : hemoragis retina (aplastik, AP). Epitaksis : perdarahan dari lubang-lubang (aplastik). Gangguan koordinasi, ataksia, penurunan rasa getar, dan posisi, tanda Romberg positif, paralysis (AP).
7) Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen samara : sakit kepala (DB)
8) Pernapasan
Gejala : riwayat TB, abses paru. Napas pendek pada istirahat dan aktivitas.
Tanda : takipnea, ortopnea, dan dispnea.
9) Keamanan
a Gejala : riwayat pekerjaan terpajan terhadap bahan kimia,. Riwayat terpajan pada radiasi; baik terhadap pengobatan atau kecelekaan. Riwayat kanker, terapi kanker. Tidak toleran terhadap dingin dan panas. Transfusi darah sebelumnya. Gangguan penglihatan, penyembuhan luka buruk, sering infeksi.
b Tanda : demam rendah, menggigil, berkeringat malam, limfadenopati umum. Ptekie dan ekimosis (aplastik).
10) Seksualitas
a Gejala : perubahan aliran menstruasi, misalnya menoragia atau amenore (DB). Hilang libido (pria dan wanita). Imppoten.
b Tanda : serviks dan dinding vagina pucat.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan anemia (Doenges, 1999) meliputi :
1. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan sekunder (penurunan hemoglobin leucopenia, atau penurunan granulosit (respons inflamasi tertekan)).
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan /absorpsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen (pengiriman) dan kebutuhan.
4. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrient ke sel.
5. Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan neurologist.
6. Konstipasi atau Diare berhubungan dengan penurunan masukan diet; perubahan proses pencernaan; efek samping terapi obat.
7. Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurang terpajan/mengingat ; salah interpretasi informasi ; tidak mengenal sumber informasi.
C. Intervensi/Implementasi keperawatan
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994)
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995).
Intervensi dan implementasi keperawatan pasien dengan anemia (Doenges, 1999) adalah :
NO DIAGNOSA TUJUAN/KRITERIA INTERVENSI
1. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan sekunder Tujuan : Infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil :
a mengidentifikasi perilaku untuk mencegah/menurunkan risiko infeksi.
b meningkatkan penyembuhan luka, bebas drainase purulen atau eritema, dan demam.
a. Tingkatkan cuci tangan yang baik ; oleh pemberi perawatan dan pasien.
b. Pertahankan teknik aseptic ketat pada prosedur/perawatan luka.
c. Berikan perawatan kulit, perianal dan oral dengan cermat.
d. Motivasi perubahan posisi/ambulasi yang sering, latihan batuk dan napas dalam.
e. Tingkatkan masukkan cairan adekuat.
f. Pantau suhu tubuh. Catat adanya menggigil dan takikardia dengan atau tanpa demam.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan /absorpsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah.
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil :
a menunujukkan peningkatan/mempertahankan berat badan dengan nilai laboratorium normal.
tidak mengalami tanda mal nutrisi.
b Menununjukkan perilaku, perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau mempertahankan berat badan yang sesuai.
a Kaji riwayat nutrisi, termasuk makan yang disukai.
b Observasi dan catat masukkan makanan pasien.
c Timbang berat badan setiap hari.
d Berikan makan sedikit dengan frekuensi sering dan atau makan diantara waktu makan.
e Observasi dan catat kejadian mual/muntah, flatus dan dan gejala lain yang berhubungan.
f Kolaborasi pada ahli gizi untuk rencana diet.
Kolaborasi ; pantau hasil pemeriksaan laboraturium.
g Kolaborasi ; berikan obat sesuai indikasi.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen (pengiriman) dan kebutuhan.
Tujuan : dapat mempertahankan/ meningkatkan ambulasi/aktivitas.
Kriteria hasil :
a. melaporkan peningkatan toleransi aktivitas (termasuk aktivitas sehari-hari)
b. menunjukkan penurunan tanda intolerasi fisiologis, misalnya nadi, pernapasan, dan tekanan darah masih dalam rentang normal.
a Kaji kemampuan ADL pasien.
b Kaji kehilangan atau gangguan keseimbangan, gaya jalan dan kelemahan otot.
c Observasi tanda-tanda vital sebelum dan sesudah aktivitas.
d Berikan lingkungan tenang, batasi pengunjung,dan kurangi suara bising,
e pertahankan tirah baring bila di indikasikan.
f Gunakan teknik menghemat energi, anjurkan pasien melakukan aktivitas semampunya (tanpa memaksakan diri).
4. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrient ke sel.
Tujuan : peningkatan perfusi jaringan
Kriteria hasil :
menunjukkan perfusi adekuat, misalnya tanda vital stabil.
a Awasi tanda vital kaji pengisian kapiler, warna kulit/membrane mukosa, dasar kuku.
b Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi.
c Awasi upaya pernapasan ; auskultasi bunyi napas perhatikan bunyi adventisius.
d Selidiki keluhan nyeri dada/palpitasi.
Kolaborasi pengawasan hasil pemeriksaan laboraturium.
e Berikan sel darah merah lengkap/packed produk darah sesuai indikasi.
f Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
5. Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan neurologist.
Tujuan : dapat pertahankan integritas kulit.
Kriteria hasil :
mengidentifikasi factor risiko/perilaku individu untuk mencegah cedera dermal.
a Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna, hangat local, eritema, ekskoriasi.
b Reposisi secara periodic Anjurkan pemukaan kulit kering dan bersih.
c Batasi penggunaan sabun
d Bantu untuk latihan rentang gerak.
D. Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan yang sistemik atau terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan, dengan melibatkan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. (Lynda Juall Capenito, 1999:28)
Evaluasi pada pasien dengan anemia adalah :
a Infeksi tidak terjadi.
b Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
c Pasien dapat mempertahankan/meningkatkan ambulasi/aktivitas.
d Peningkatan perfusi jaringan.
e Dapat mempertahankan integritas kulit.
f Membuat/kembali pola normal dari fungsi usus.
g Pasien mengerti dan memahami tentang penyakit, prosedur diagnostic dan rencana pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
• Boedihartono. 1994. Proses Keperawatan di Rumah Sakit. Jakarta.
• Burton, J.L. 1990. Segi Praktis Ilmu Penyakit Dalam. Binarupa Aksara : Jakarta
• Carpenito, L. J. 1999. Rencana Asuhan keperawatan dan dokumentasi keperawatan, Diagnosis Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, ed. 2. EGC : Jakarta
• Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian pasien. ed.3. EGC : Jakarta
• Effendi , Nasrul. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. EGC : Jakarta.
• Hassa. 1985. Ilmu Kesehatan Anak jilid 1. FKUI : Jakarta
• http://id.wikipedia.org/wiki/Anemia
• http://www.kompas.com/ver1/Kesehatan/0611/30/104458.htm
• Noer, Sjaifoellah. 1998. Standar Perawatan Pasien. Monica Ester : Jakarta.
• Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC : Jakarta.
ASKEP DIABETES MELLITUS
1.Pengertian diabetes mellitus
a. Diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang kompleks yang mengakibatkan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, lemak dan berkembang menjadi komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler dan neurologis. (Barbara C. Long)
b. Diabetes mellitus adalah suatu penyakit kronis yang menimbulkan gangguan multi sistem dan mempunyai karakteristik hyperglikemia yang disebabkan defisiensi insulin atau kerja insulin yang tidak adekuat. (Brunner dan Sudart)
c. Diabetes mellitus adalah keadaan hyperglikemia kronis yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan keturunan secara bersama-sama, mempunyai karakteristik hyperglikemia kronis tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol (WHO).
d. Diabetes mellitus adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang akibat peningkatan kadar glukosa darah yang disebabkan oleh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Suyono, 2002).
2.Etiologi
Etiologi dari diabetes mellitus tipe II sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti dari studi-studi eksperimental dan klinis kita mengetahui bahwa diabetes mellitus adalah merupakan suatu sindrom yang menyebabkan kelainan yang berbeda-beda dengan lebih satu penyebab yang mendasarinya.
Menurut banyak ahli beberapa faktor yang sering dianggap penyebab yaitu :
a) Faktor genetik
Riwayat keluarga dengan diabetes :
Pincus dan White berpendapat perbandingan keluarga yang menderita diabetes mellitus dengan kesehatan keluarga sehat, ternyata angka kesakitan keluarga yang menderita diabetes mellitus mencapai 8, 33 % dan 5, 33 % bila dibandingkan dengan keluarga sehat yang memperlihatkan angka hanya 1, 96 %.
b) Faktor non genetik
1) Infeksi
Virus dianggap sebagai “trigger” pada mereka yang sudah mempunyai predisposisi genetic terhadap diabetes mellitus.
2) Nutrisi
a.)Obesitas dianggap menyebabkan resistensi terhadap insulin.
b.)Malnutrisi protein
c.)Alkohol, dianggap menambah resiko terjadinya pankreatitis.
3) Stres
Stres berupa pembedahan, infark miokard, luka bakar dan emosi biasanya menyebabkan hyperglikemia sementara.
4) Hormonal Sindrom cushing karena konsentrasi hidrokortison dalam darah tinggi, akromegali karena jumlah somatotropin meninggi, feokromositoma karena konsentrasi glukagon dalam darah tinggi, feokromositoma karena kadar katekolamin meningkat
3.Klasifikasi
Berdasarkan klasifikasi dari WHO (1985) dibagi beberapa type yaitu :
a. Diabetes mellitus type insulin, Insulin Dependen diabetes mellitus (IDDM) yang dahulu dikenal dengan nama Juvenil Onset diabetes (JOD), klien tergantung pada pemberian insulin untuk mencegah terjadinya ketoasidosis dan mempertahankan hidup. Biasanya pada anak-anak atau usia muda dapat disebabkan karena keturunan.
b. Diabetes mellitus type II, Non Insulin Dependen diabetes mellitus (NIDDM), yang dahulu dikenal dengan nama Maturity Onset diabetes (MOD) terbagi dua yaitu :
1.)Non obesitas
2.)Obesitas
Disebabkan karena kurangnya produksi insulin dari sel beta pankreas, tetapi biasanya resistensi aksi insulin pada jaringan perifer.
Biasanya terjadi pada orang tua (umur lebih 40 tahun) atau anak dengan obesitas.
c. Diabetes mellitus type lain
1) Diabetes oleh beberapa sebab seperti kelainan pankreas, kelainan hormonal, diabetes karena obat/zat kimia, kelainan reseptor insulin, kelainan genetik dan lain-lain.
2) Obat-obat yang dapat menyebabkan huperglikemia antara lain :
Furasemid, thyasida diuretic glukortikoid, dilanting dan asam hidotinik
3) Diabetes Gestasional (diabetes kehamilan) intoleransi glukosa selama kehamilan, tidak dikelompokkan kedalam NIDDM pada pertengahan kehamilan meningkat sekresi hormon pertumbuhan dan hormon chorionik somatomamotropin (HCS). Hormon ini meningkat untuk mensuplai asam amino dan glukosa ke fetus.
4.Patofisiologi
Sebagian besar patologi diabetes mellitus dapat dikaitkan dengan satu dari tiga efek utama kekurangan insulin sebagai berikut :
a) Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, dengan akibat peningkatan konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200 mg/hari/100 ml.
b) Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah-daerah penyimpanan lemak, menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding vaskuler yang mengakibatkan aterosklerosis.
c) Pengurangan protein dalam jaringan tubuh.
Akan tetapi selain itu terjadi beberapa masalah patofisiologi pada diabetes mellitus yang tidak mudah tampak yaitu kehilangan ke dalam urine klien diabetes mellitus. Bila jumlah glukosa yang masuk tubulus ginjal dan filtrasi glomerulus meningkat kira-kira diatas 225 mg.menit glukosa dalam jumlah bermakna mulai dibuang ke dalam urine. Jika jumlah filtrasi glomerulus yang terbentuk tiap menit tetap, maka luapan glukosa terjadi bila kadar glukosa meningkat melebihi 180 mg%.
Asidosis pada diabetes, pergeseran dari metabolisme karbohidrat ke metabolisme telah dibicarakan. Bila tubuh menggantungkan hampir semua energinya pada lemak, kadar asam aseto – asetat dan asam Bihidroksibutirat dalam cairan tubuh dapat meningkat dari 1 Meq/Liter sampai setinggi 10 Meq/Liter.
5.Gambaran Klinik
Gejala yang lazim terjadi, pada diabetes mellitus sebagai berikut :
Pada tahap awal sering ditemukan :
a.Poliuri (banyak kencing)
Hal ini disebabkan oleh karena kadar glukosa darah meningkat sampai melampaui daya serap ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi osmotic diuresis yang mana gula banyak menarik cairan dan elektrolit sehingga klien mengeluh banyak kencing.
b.Polidipsi (banyak minum)
Hal ini disebabkan pembakaran terlalu banyak dan kehilangan cairan banyak karena poliuri, sehingga untuk mengimbangi klien lebih banyak minum.
c.Polipagi (banyak makan)
Hal ini disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel-sel mengalami starvasi (lapar). Sehingga untuk memenuhinya klien akan terus makan. Tetapi walaupun klien banyak makan, tetap saja makanan tersebut hanya akan berada sampai pada pembuluh darah.
d.Berat badan menurun, lemas, lekas lelah, tenaga kurang.
Hal ini disebabkan kehabisan glikogen yang telah dilebur jadi glukosa, maka tubuh berusama mendapat peleburan zat dari bahagian tubuh yang lain yaitu lemak dan protein, karena tubuh terus merasakan lapar, maka tubuh selanjutnya akan memecah cadangan makanan yang ada di tubuh termasuk yang berada di jaringan otot dan lemak sehingga klien dengan DM walaupun banyak makan akan tetap kurus
e.Mata kabur
Hal ini disebabkan oleh gangguan lintas polibi (glukosa – sarbitol fruktasi) yang disebabkan karena insufisiensi insulin. Akibat terdapat penimbunan sarbitol dari lensa, sehingga menyebabkan pembentukan katarak.
6.Diagnosis
Diagnosis diabetes mellitus umumnya dipikirkan dengan adanya gejala khas diabetes mellitus berupa poliuria, polidipsi, poliphagia, lemas dan berat badan menurun. Jika keluhan dan gejala khas ditemukan dan pemeriksaan glukosa darah sewaktu yang lebih 216 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosa
7.Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan klien dengan diabetes mellitus adalah untuk mengatur glukosa darah dan mencegah timbulnya komplikasi acut dan kronik. Jika klien berhasil mengatasi diabetes yang dideritanya, ia akan terhindar dari hyperglikemia atau hypoglikemia. Penatalaksanaan diabetes tergantung pada ketepatan interaksi dari tiga faktor aktifitas fisik, diet dan intervensi farmakologi dengan preparat hyperglikemik oral dan insulin.
Pada penderita dengan diabetes mellitus harus pantang gula dan makanan yang manis untuk selamanya. Tiga hal penting yang harus diperhatikan pada penderita diabetes mellitus adalah tiga J (jumlah, jadwal dan jenis makanan) yaitu :
a. J I : jumlah kalori sesuai dengan resep dokter harus dihabiskan
b. J 2 : jadwal makanan harus diikuti sesuai dengan jam makan terdaftar.
c. J 3 : jenis makanan harus diperhatikan (pantangan gula dan makanan manis).
Diet pada penderita diabetes mellitus dapat dibagi atas beberapa bagian antara lain :
a. Diet A : terdiri dari makanan yang mengandung karbohidrat 50 %, lemak 30 %, protein 20%.
b. Diet B : terdiri dari karbohidrat 68 %, lemak 20 %, protein 12 %.
c. Diet B1 : terdiri dari karbohidrat 60 %, lemak 20 %, protein 20 %.
d. Diet B1 dan B¬2 diberikan untuk nefropati diabetik dengan gangguan faal ginjal.
1) Indikasi diet A :
Diberikan pada semua penderita diabetes mellitus pada umumnya.
2) Indikasi diet B :
Diberikan pada penderita diabetes terutama yang :
1. Kurang tahan lapan dengan dietnya.
2. Mempunyai hyperkolestonemia.
3. Mempunyai penyulit mikroangiopati misalnya pernah mengalami cerobrovaskuler acident (cva) penyakit jantung koroner.
4. Mempunyai penyulit mikroangiopati misalnya terdapat retinopati diabetik tetapi belum ada nefropati yang nyata.
5. Telah menderita diabetes dari 15 tahun
Indikasi diet B1
Diberikan pada penderita diabetes yang memerlukan diet protein tinggi, yaitu penderita diabetes terutama yang :
a. Mampu atau kebiasaan makan tinggi protein tetapi normalip idemia.
b. Kurus (underweight) dengan relatif body weight kurang dari 90 %
c. Masih muda perlu pertumbuhan.
d. Mengalami patah tulang.
e. Hamil dan menyusui.
f. Menderita hepatitis kronis atau sirosis hepatitis.
g. Menderita tuberkulosis paru
h. Menderita penyakit graves (morbus basedou).
i. Menderita selulitis.
j. Dalam keadaan pasca bedah.
Indikasi tersebut di atas selama tidak ada kontra indikasi penggunaan protein kadar tinggi.
Indikasi B2 dan B3
Diet B2 diberikan pada penderita nefropati dengan gagal ginjal kronik yang klirens kreatininnya masih lebar dari 25 ml/mt.
Sifat-sifat diet B2
a. Tinggi kalori (lebih dari 2000 kalori/hari tetapi mengandung protein kurang.
b. Komposisi sama dengan diet B, (68 % hidrat arang, 12 % protein dan 20 % lemak) hanya saja diet B2 kaya asam amino esensial.
c. Dalam praktek hanya terdapat diet B2 dengan diet 2100 – 2300 kalori / hari.
Karena bila tidak maka jumlah perhari akan berubah.
Indikasi diet B3
Diberikan pada penderita nefropati diabetik dengan gagal ginjal kronik yang klibers kreatininnya kurang dari 25 MI/mt
Sifat diet B3
a. Tinggi kalori (lebih dari 2000 kalori/hari).
b. Rendah protein tinggi asam amino esensial, jumlah protein 40 gram/hari.
c. Karena alasan No 2 maka hanya dapat disusun diet B3 2100 kalori dan 2300 / hari. (bila tidak akan merubah jumlah protein).
d. Tinggi karbohidrat dan rendah lemak.
e. Dipilih lemak yang tidak jenuh.
Semua penderita diabetes mellitus dianjurkan untuk latihan ringan yang dilaksanakan secara teratur tiap hari pada saat setengah jam sesudah makan. Juga dianjurkan untuk melakukan latihan ringan setiap hari, pagi dan sore hari dengan maksud untuk menurunkan BB.
Penyuluhan kesehatan.
Untuk meningkatkan pemahaman maka dilakukan penyuluhan melalui perorangan antara dokter dengan penderita yang datang. Selain itu juga dilakukan melalui media-media cetak dan elektronik.
8.Komplikasi
a.Akut
1) Hypoglikemia
2) Ketoasidosis
3) Diabetik
b.Kronik
1) Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar, pembuluh darah jantung pembuluh darah tepi, pembuluh darah otak.
2) Mikroangiopati mengenai pembuluh darah kecil retinopati diabetik, nefropati diabetic.
3) Neuropati diabetic.
B.Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerja sama antara perawat dengan klien dan keluarga, untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal dalam melakukan proses terapeutik maka perawat melakukan metode ilmiah yaitu proses keperawatan.
Proses keperawatan merupakan tindakan yang berurutan yang dilakukan secara sistematis dengan latar belakang pengetahuan komprehensif untuk mengkaji status kesehatan klien, mengidentifikasi masalah dan diagnosa, merencanakan intervensi mengimplementasikan rencana dan mengevaluasi rencana sehubungan dengan proses keperawatan pada klien dengan gangguan sistem endokrin.
1.Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan gangguan sistem endokrin diabetes mellitus dilakukan mulai dari pengumpulan data yang meliputi : biodata, riwayat kesehatan, keluhan utama, sifat keluhan, riwayat kesehatan masa lalu, pemeriksaan fisik, pola kegiatan sehari-hari.
Hal yang perlu dikaji pada klien degan diabetes mellitus :
a. Aktivitas dan istirahat :
b. Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram otot, gangguan istirahat dan tidur, tachicardi/tachipnea pada waktu melakukan aktivitas dan koma.
c. Riwayat hipertensi, penyakit jantung seperti IMA, nyeri, kesemutan pada ekstremitas bawah, luka yang sukar sembuh, kulit kering, merah, dan bola mata cekung.
d. Eliminasi
Poliuri,nocturi, nyeri, rasa terbakar, diare, perut kembung dan pucat.
e. Nutrisi
Nausea, vomitus, berat badan menurun, turgor kulit jelek, mual/muntah.
f. Neurosensori
Sakit kepala, menyatakan seperti mau muntah, kesemutan, lemah otot, disorientasi, letargi, koma dan bingung.
g. Nyeri
Pembengkakan perut, meringis.
h. Respirasi
Tachipnea, kussmaul, ronchi, wheezing dan sesak nafas.
i. Keamanan
Kulit rusak, lesi/ulkus, menurunnya kekuatan umum.
j. Seksualitas
Adanya peradangan pada daerah vagina, serta orgasme menurun dan terjadi impoten pada pria.
2.Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pengkajian data keperawatan yang sering terjadi berdasarkan teori, maka diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien diabetes mellitus yaitu :
a. Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotik.
b. Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakcukupan insulin, penurunan masukan oral.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan hyperglikemia.
d. Resiko tinggi terhadap perubahan persepsi sensori berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/insulin dan atau elektrolit.
e. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik.
f. Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/progresif yang tidak dapat diobati, ketergantungan pada orang lain.
g. Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi.
3.Rencana Keperawatan
NO DIAGNOSA TUJUAN/KRITERIA INTERVENSI
1. Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotic
Mendemonstrasikan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urine tepat secara individu, dan kadar elektrolit dalam batas normal.
a. Pantau tanda-tanda vital
b. Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit, dan membran mukosa.
c. Pantau masukan dan keluaran, catat berat jenis urine.
d. Timbang berat badan setiap hari.
e. Berikan terapi cairan sesuai indikasi.
2. Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakcukupan insulin, penurunan masukan oral.
Mencerna jumlah kalori/nutrien yang tepat
Menunjukkan tingkat energi biasanya
Berat badan stabil atau bertambah.
a Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang
b Timbang berat badan setiap hari atau sesuai indikasi.
c Identifikasi makanan yang disukai/dikehendaki termasuk kebutuhan etnik/kultural.
d Libatkan keluarga pasien pada perencanaan makan sesuai indikasi.
e Berikan pengobatan insulin secara teratur sesuai indikasi
3. Resiko infeksi berhubungan dengan hyperglikemia Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko infeksi.
Mendemonstrasikan teknik, perubahan gaya hidup untuk mencegah terjadinya infeksi
a Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan.
b Tingkatkan upaya untuk pencegahan dengan melakukan cuci tangan yang baik pada semua orang yang berhubungan dengan pasien
c Pertahankan teknik aseptik pada prosedur invasif.
termasuk pasiennya sendiri
d Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh.
e Lakukan perubahan posisi, anjurkan batuk efektif dan nafas dalam.
4. Resiko tinggi terhadap perubahan persepsi sensori berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/insulin dan atau elektrolit.
Mempertahankan tingkat kesadaran/orientasi.
Mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakan sensori a Pantau tanda-tanda vital dan status mental.
b Panggil pasien dengan nama, orientasikan kembali sesuai dengan kebutuhannya.
c Pelihara aktivitas rutin pasien sekonsisten mungkin, dorong untuk melakukan kegiatan
d Selidiki adanya keluhan parestesia, nyeri atau kehilangan sensori pada paha/kaki.
5. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik Mengungkapkan peningkatan tingkat energi.
Menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan.
a Diskusikan dengan pasien kebutuhan akan aktivitas.
b )Berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup.
c Pantau nadi, frekuensi pernafasan dan tekanan darah sebelum/sesudah melakukan
d Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai toleransi.
Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat, keselahan interpretasi informasi Mengungkapkan pemahaman tentang penyakit.
Mengidentifikasi hubungan tanda/gejala dengan proses penyakit dan menghubungkan gejala dengan faktor penyebab.
Dengan benar melakukan prosedur yang perlu dan menjelaskan rasional tindakan a Ciptakan lingkungan saling percaya
b Diskusikan dengan klien tentang penyakitnya.
c Diskusikan tentang rencana diet, penggunaan makanan tinggi serat.
mengambil bagian dalam proses belajar.
d Diskusikan pentingnya untuk melakukan evaluasi secara teratur dan jawab pertanyaan pasien/orang terdekat.
DAFTAR PUSTAKA
Luecknote, Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek Maryunani, Jakarta:EGC, 1997.
Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Jakarta : EGC, 1999.
Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa YasminAsih, Jakarta : EGC, 1997.
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC, 2002.
Ikram, Ainal, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Usia Lanjut jilid I Edisi ketiga, Jakarta : FKUI, 1996.
Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Cet 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2002
Sumber:http://www.ilmukeperawatan.com
ASUHAN KEPERAWATAN GASTRITIS
A. PENGERTIAN
Gastritis adalah imflamasi mukosa lambung, sering akibat diet yang sembarangan. Biasanya individu ini makan terlalu banyak atau terlalu cepat atau makan makanan yang terlalu berbumbu atau mengandung mikroorganisme penyebab penyakit. ( Smelzer 2002 )
Gastritis kronis adalah imflamasi lambung yan lama dapat disebabkan oleh ulku benigna atau maligna dari lambung atau oleh bakteri helicobacter pylory ( H. pylory ) ( Smelzer, 2002 )
Gastritis Akut adalah dapat diatasi dengan mengintruksikan pasien untuk menghindari alcohol atau makanan yang banyak mengandung bumbu sampai gejala berkurang. ( Smelzer, 2002 )
Gastritis adalah imflamasi dari mukosa lambung gambaran klinis yang ditemukan berupa dyspepsia atau indigesti. Berdasarkan Eudaskopi ditemukan entema mukosa, sedangkan hasil foto memperlihatkan iregularitas mukosa. ( Dongoes, 2000 )
Gastritis adalah suatu peradangan mukosa lambung yang dapat bersifat akut, kronik, difus atau local. Dua jenis gastritis yang paling sering terjadi yaitu gastritis supervisial akut dan gastritis atrofik kronik. ( Price and Wilson, 1995 )
B. ETIOLOGI
Penyebab penyakit Gastritis antara lain :
a) Obat-obatan, Aspirin, Obat anti Inflamasi non steroid ( AINS )
b) Alkohol dan stress
c) Gangguan mikrosirkulasi mukosa lambung : trauma, luka bakar, sepsis
d) Refluk dari usus kelambung
e) Endotoxin
Secara makroskopik terdapat lesi erosi mukosa dengan lokasi berbeda, jika ditemukan pada korfus dan tundus biasanya disebabkan oleh stress. Jika disebabkan karena obat-obatan AINS, terutama ditemukan didaerah antrum, namun juga dapat menyeluruh. Sedangkan secara mikroskopik terdapat eresi dengan degenerasi epitel dan ditemukan reaksi sel inflamasi neutrofil yang minimal.( Mansjoer, 2000 )
C. PATOFISIOLOGI
a. Grastitis Akut
Membran mukosa lambung menjadi edema dan heperemik ( kongesti dengan jaringan , cairan dan darah ) dan mengalami erosi surperfisial , bagian ini mensekresi sejumlah getah lambung yang mengandung sangat sedikkit asam tetapi banyak mucus. Laserasi superfesial dapat terjadi dan dapat menimbulkan hemoragi. Pasien dapat mengalami ketidaknyamanan. Sakit kepala, malas , mual dan anoretia, pasien asimtomatik.
Mukosa lambung mampu memperbaiki diri sendiri setelah mengalami gastritis. Kadang-kadang hemoragi memerlukan intervensi bedah. Bila makanan pengiritasi tidak dimuntahkan tetapi mencapai usus, dapat mengakibatkan kolik dan diare. Biasanya pasien sembuh kira-kira sehari. Meskipun nafsu makan menurun selama 2-3 hari.
b. Gastritis Kronis
Inflamasi lambung yang lama dapat disebabkan oleh ulkus benigna atau maligna dari lambung atau maligna dari lambung atau oleh bakteri helicobactery pylory ( H. pylory ) Gastritis Kronis dapat diklasifikasikan sebagai tipe A / tipe B, tipe A ( sering disebut sebagai gastritis automun ) diakibatkan dari perubahan sel parietal, yang menimbulkan atrofi dan infiltrasi seluler. Hal ini dihubungkan dengan penyakit autoimun seperti anemia pernisiosa dan terjadi pada fundus atau korpus dari lambung. Tipe B ( kadang disebut sebagai gastritis H. Pylory ) mempengaruhi antrum dan dan pylorus ( ujung bawah lambung dekat duodenum ) ini dihubungkan dengan bakteri Pylory. Factor diet seperti minum panas atau pedas, penggunaan atau obat-obatan dan alcohol, merokok, atau refluks isi usus kedalam lambung.
( Smelzer, 2002 )
E. MANIFESTASI KLINIS
Sindrom dispepsia berupa nyeri epigastrium, mual, kembung, muntah merupakan salah satu keluhan yang sering muncul. Ditemukan pula pendarahan/ hemoragi saluran cerna berupa hematemesis dan melena. Kemudian disusul dengan tanda-tanda anemia paska perdarahan. Biasanya, jika dilakukan anamnesis lebih dalam terdapat riwayat penggunaan obat-obatan atau kimia tertentu, dan juga bisa disebabkan oleh stress. ( Mansjoer, 2000 )
F. PEMERIKSAAN PENUJANG
Gastritis tipe A dihubungkan dengan aklorhida atau hipoklorhida ( kadar asam hidro klorida tidak ada atau rendah ), sedangkan gastritis tipe B dihubungkan dengan hiperkherhida ( kadar tinggi dari asam hidroklorida ). Diagnosis dapat ditentukan dengan endoskopi, Serangkaian pemeriksaan sinar- X gastrointestinal atas, dan pemeriksaan histologis. Tindakan diagnostic untuk mendeteksi H. Pylory mencakup tes serologis untuk anti bodi terhadap anti gen H. pylory dan tes pernafasan.
( Smelzer, 2002 )
G. PENATALAKSANAAN
Gatritis akut diatasi dengan mengintruksikan pasien untuk menghindari alcohol dan makanan sampai gejala berkurang. Bila pasien mampu makan melalui mulut, diet mengandung gizi dianjurkan. Bila gejala menetap cairan perlu diberikan secara parenteral. Bila perdarahan terjadi maka penatalaksanaan adalah serupa dengan prosedur yang dilakukan untuk hemoragi saluran gastrointestinal atas. Bila gastritis diakibatkan oleh mencerna makanan yang sangat asam atau alkali, pengobatan terdiri dari pengenceran dan penetralisasian agen penyebab.
a. Untuk menetralisasi asam lambung digunakan antasida umum ( mis, aluminium hidroksida ), untuk menetralisasi alkali digunakan jus lemon encer atau cuka encer.
b. Bila korosi luas atau berat, emetic dan levase dihindari karena bahaya perforasi.
Terapi pendukung mencakup intubasi, analgesic, dan sedative, antasida serta cairan intravena. Eudoskopi fiberoptik mungkin diperlukan. Pembedahan darurat mungkin diperlukan untuk mengangkat gangrene atau jaringan perforasi. Gastrojejunostomi atau reaksi lambung mungkin diperlukan untuk mengatasi distruksi pylorus.
Gastritis kronis diatasi dengan memodifikasi diet pasien, meningkatkan istirahat, megurangi stress, dan memulai farmakoterapi. H. Pylory dapat diatasi dengan antibotik ( seperti tetrasiklin atau amoxilin ) dan garam bismuth. Pasien dengan gastritis A biasanya mengalami malabsorbsi vitamin B12 yang disebabkan oleh adanya antibody terhadap factor intrinsic.
( smelzer, 2002 )
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Selama mengumpulkan riwayat, perawat menanyakan tentang tanda dan gejala pada pasien. Apakah pasien mengalami nyeri ulu hati, tidak dapat makan, mual, muntah? Apakah gejala terjadi pada wktu kapan saja, sebelum atau sesudah makan, setelah mencerna makanan pedas atau pengiritasi, atau setelah mencerna obat tertentu atau alkohol?Apakah gejala berhubungan dengan ansietas, stress, alergi, makan atau minum terlalu banyak, atau makan terlalu cepat? Bagaimana gejala hilang? Adakah riwayat penyakit lambung sebelumnya atau pembedahan lambung? Riwayat diet ditambah jenis diet yang baru dimakan selama 72 jam, akan membantu. Riwayat lengkap sangat penting membantu perawat untuk mengidentifikasi apakah kelebihan diet atau diet sembarang yang diketahui, berhubungan dengan gejala saat ini, apakah orang lain dalam lingkungan pasien muntahkan darah dan apakah elemen penyebab yang diketahui telah tertelan.
Tanda yang diketahui selama pemeriksaan fisik mencakup nyeri tekan abdomen, dehidrasi ( perubahan lurgor kulit ), membrane mukosa kering, dan bukti adanya gangguan sistematik dapat menyebabkan gejala gastritis, lamanya waktu dimana gejala saat ini hilang dan metode yang digunakan oleh pasien untuk mengatasi gejala serta efek-efeknya juga diidentifikasi.
( Smelzer, 2002 )
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berdasarkan semua data pengkajian, diagnosa perawat utama mencakup hal berikut :
a) Ansietas berhubungan dengan pengobatan
b) Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh, berhubungan dengan masukan nutrient yang tidak adekuet
c) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan masukan cairan tidak cukup dan kehilangan cairan berkelebihan karena muntah
d) Kurang pengetahuan tentang penatalaksanaan diet dan proses penyakit
e) Nyeri berhubungan dengan mukosa lambung teriritasi
( Smelzer, 2002 )
C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Rencana Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan iritasi mukosa lambung (gaster).
Outcome yang diharapkan: klien merasa nyaman setelah dilakukan tindakan perawatan selama …… Nyeri klien dapat hilang/berkurang dengan criteria :
a Klien tampak tenang, tidak mengeluh nyeri epigastrik
b Tidak mengalami nyeri epigastrik.
c Skala nyeri (nyeri ringan)
d Tanda vital normal a Catat adanya keluhan nyeri epigastrik (sensasi ulu hati seperti terbakar/panas), perih
b Motivasi klien untuk tidak telat makan. Makan makanan ringan bila di antara waktu makan perut terasa perih.
c Observasi ada keluhan lain yang menyertai seperti mual/muntah, perut kembung
d Observasi tanda vital
e beri obat-obatan sesuai program medis *)
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan (resiko) berhubungan dengan masukan nutrient yang tidak adekuat
Outcome yang diharapkan: Klien memperlihatkan stats nutrisi yang adekuat, KH.
Kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi dengan criteria :
a BB klien dalam statas normal ( 10-15% BB ideal)
b Nilai-nilai lab dbn (terutama Hb, creatinin, prot total, albumin)
c Secara klinis memperlihatkan tanda conjungtivitis, tidak anemis, tonus otot +
d Intake menghasilkan nutrisi setidaknya 3x sehari porsi penuh a Catat adanya keluhan mual/muntah, anoreksia
b Anjurkan klien untuk modifikasi diit (porsi sedikit demi sedikit tapi sering)
c Rencanakan pengaturan diit dengan libatkan klien dan ahli gizi (kebutuhan kalori, variasi menu)
d Pantau intake nutrisi klien
e berikan obat-obatan bila ada indikasi sesuai program
3. Resiko terjadinya kekurangan volume cairan berhubungan dengan masukan cairan yang tidak cukup, pengeluaran cairan yang berlebihan (muntah/mual) Kebutuhan cairan terpenuhi dengan kriteria
a tanda-tanda vital stabil,
b membran mukosa lembab, turgor kulit baik,
c haluaran urine stabil. a. Catat karakteristik muntah dan banyaknya pendarahan
b. Kaji tanda-tanda vital (TD, nadi, suhu)
c. Monitor intake dan output cairan
d. Tinggikan kepala selama minum obat
e. Berikan cairan jenuh/lembut jika masukan dimulai lagi, hindari minuman yang berkafein dan berkarbon
f. Pertahankan tirah baring
g. Kolaborasi dengan pemberian cairan sesuai indikasi
4. Ansietas berhubungan dengan pengobatan
Cemas pasien berkurang dengan criteria
a Menyatakan rentang perasaan yang tepat
b Menunjukan rileks laporan ansietas berkurang a Awasi respon fisiologis mis: takipnea palpitasi pusing
b Dorong pernyataan takut dan ansietas
c Dorong orang terdekat untuk menemani pasien
d Berikan kesempatan klien untuk mengekapresikan perasaan cemasnya pada orang terdekat
e Tunjukan teknik relaksasi
5.
Kurang pengetahuan tentang pelaksanaan diet dan proses penyakit
berhubungan dengan kurangnya informasi dan kesalahan interpretasi informasi
Pasien dapat mengerti tentang diet dan proses penyakit dengan criteria :
Menyatakan pemahaman tentang diet dan proses penyakit
a Gali pengetahuan klien tentang diet dan proses penyakit
b Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan diet pasein
c Jelaskan tentang proses penyakit dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien
d Tanya pasein tentang hal yang telah dijelaskan petugas
Prisip intervensi:
1) Mengurangi ansietas bila pasien mencerna asam atau alkali, maka tindakan
darurat diperlukan, terapi pendukung diberikan pada pasien dan keluarga selama pengobatan dan setelah mencerna asam atau alkali yang telah dinetralisasi atau diencerkan. Pasien perlu disiapkan untuk pemeriksaan diagnostic ( endoskopi ) atau pembedahan ansietas karena nyeri dan modalitas pengobatan biasanya timbul demikian juga ras takut terhadap kerusakan prmanen pada esophagus.
2) Meningkatkan nutrisi. Untuk gastritis akut dukungan fisik dan emosi diberikan dan pasien dibentuk untuk menghadapi gejala yang dapat mencakup mual, muntah, sakit ulu hati dan kelelahan makanan dan cairan tidak diijinkan melalui mulut selama beberapa jam/ beberapa hari sampai gejala akut berkurang.
3) Meningkatkan keseimbangan cairan. Masukan dan haluara cairan setiap hari dipantau untuk mendeteksi tanda-tanda dehidrasi haluaran urin minimal 30 ml/jam, masukan minimal 1,5 l/hari bila makanan dan minuman ditunda cairan intravena 3 l/hari masukan cairan ditambah nilai kalori diukur 1 L 5 % dektrosa dalam air + 170 kalori karbohidrat ) nilai elektrolit ( natrium, kalium klorida ) dapat dikaji selama 24 jam untuk mendeteksi indicator awal ketidakseimbangan.
4) Menghilangkan nyeri. Pasien diinstruksikan untuk menghindari makanan dan minuman yang dapat mengiritasi mukosa lambung perawat mengkaji tingkat nyeri dan kenyamanan pasien setelah penggunaan obat-obatan dan menghindari zat pengiritasi.
5) Pendidikan pasien dan pertimbangan perawatan dirumah. Pengetahuan pasien tentang gastritis dievaluasi sehingga rencana penyuluhan dapat bersifat individual. Diet diresepkan dan disesuaikan dengan jumlah kebutuhan kalori harian pasien, makanan yang disukai dan pola makan.
( Smelzer, 2002 )
D. TINDAKAN KEPERAWATAN
Pelaksanaan adalah pemberian asuhan keperawatan secara nyata berupa serangkaian kegiatan sistematis berdasarkan perencanaan untuk mencapai hasil yang optimal. Pada tahap ini perawat menggunakan segala kemampuan yang dimiliki dalam melaksanakan tindakan keperawatan terhadap klien baik secara umum maupun secara khusus pada klien gastritis.
( Dongoes, 2000 )
E. EVALUASI
Hasil yang diharapkan
a. Menunjukan berkurangnya ansietas
b. Menghindari makan makanan pengiritasi atau minuman yang mengandung kafein dan alcohol
c. Mempertahankan keseimbangan cairan
d. Mentoleransi terapi intervena sedikitnya 1,5 L/hari
e. Minum sampai 6-8 gelas/hari
f. Mempunyai haluaran urin kira-kira 1 L setiap hari
g. Menunjukan turgor kulit yang adekuat
h. Memenuhi program pengobatan
i. Memilih makanan dan minuman bukan pengiritasi
j. Menggunakan obat-obatan sesuai resep
k. Melaporkan nyeri berkurang.
( Smeltzer, 2002 )
DAFTAR PUSTAKA
• Dongoes, Marlynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 8. EGC; Jakarta
• Mansjoer, Arif. 2000.Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Media Aesculapius: Jakarta
• Price, Sylvia. A. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Prose-proses Penyakit. Edisi 4. EGC : Jakarta
• Smeltzer dan Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Bruner dan Suddanth. Judul Asli : Brunner and Suddarthis Text book of Medical Surgical Nursing. Alih Bahasa : Agung Waluyo. Volume 2. EGC : Jakarta
HEPATITIS
A. DEFINISI
Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan yang dapat disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan serta bahan-bahan kimia. (Sujono Hadi, 1999).
Hepatitis virus merupakan infeksi sistemik oleh virus disertai nekrosis dan klinis, biokimia serta seluler yang khas (Smeltzer, 2001)
B. ETIOLOGI
1. Virus
Type A Type B Type C Type D Type E
Metode transmisi Fekal-oral melalui orang lain Parenteral seksual, perinatal Parenteral jarang seksual, orang ke orang, perinatal Parenteral perinatal, memerlukan koinfeksi dengan type B Fekal-oral
Keparahan Tak ikterik dan asimto- matik Parah Menyebar luas, dapat berkem-bang sampai kronis Peningkatan insiden kronis dan gagal hepar akut
Sama dengan D
Sumber virus Darah, feces, saliva Darah, saliva, semen, sekresi vagina Terutama melalui darah Melalui darah Darah, feces, saliva
2. Alkohol
Menyebabkan alkohol hepatitis dan selanjutnya menjadi alkohol sirosis.
3. Obat-obatan
Menyebabkan toksik untuk hati, sehingga sering disebut hepatitis toksik dan hepatitis akut.
C. TANDA DAN GEJALA
1. Masa tunas
Virus A : 15-45 hari (rata-rata 25 hari)
Virus B : 40-180 hari (rata-rata 75 hari)
Virus non A dan non B : 15-150 hari (rata-rata 50 hari)
2. Fase Pre Ikterik
Keluhan umumnya tidak khas. Keluhan yang disebabkan infeksi virus berlangsung sekitar 2-7 hari. Nafsu makan menurun (pertama kali timbul), nausea, vomitus, perut kanan atas (ulu hati) dirasakan sakit. Seluruh badan pegal-pegal terutama di pinggang, bahu dan malaise, lekas capek terutama sore hari, suhu badan meningkat sekitar 39oC berlangsung selama 2-5 hari, pusing, nyeri persendian. Keluhan gatal-gatal mencolok pada hepatitis virus B.
3. Fase Ikterik
Urine berwarna seperti teh pekat, tinja berwarna pucat, penurunan suhu badan disertai dengan bradikardi. Ikterus pada kulit dan sklera yang terus meningkat pada minggu I, kemudian menetap dan baru berkurang setelah 10-14 hari. Kadang-kadang disertai gatal-gatal pasa seluruh badan, rasa lesu dan lekas capai dirasakan selama 1-2 minggu.
4. Fase penyembuhan
Dimulai saat menghilangnya tanda-tanda ikterus, rasa mual, rasa sakit di ulu hati, disusul bertambahnya nafsu makan, rata-rata 14-15 hari setelah timbulnya masa ikterik. Warna urine tampak normal, penderita mulai merasa segar kembali, namun lemas dan lekas capai.
D. PATOFOSIOLOGI
Inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan-bahan kimia. Unit fungsional dasar dari hepar disebut lobus dan unit ini unik karena memiliki suplai darah sendiri. Sering dengan berkembangnya inflamasi pada hepar, pola normal pada hepar terganggu. Gangguan terhadap suplai darah normal pada sel-sel hepar ini menyebabkan nekrosis dan kerusakan sel-sel hepar.
Setelah lewat masanya, sel-sel hepar yang menjadi rusak dibuang dari tubuh oleh respon sistem imun dan digantikan oleh sel-sel hepar baru yang sehat. Oleh karenanya, sebagian besar klien yang mengalami hepatitis sembuh dengan fungsi hepar normal.
Inflamasi pada hepar karena invasi virus akan menyebabkan peningkatan suhu badan dan peregangan kapsula hati yang memicu timbulnya perasaan tidak nyaman pada perut kuadran kanan atas. Hal ini dimanifestasikan dengan adanya rasa mual dan nyeri di ulu hati.
Timbulnya ikterus karena kerusakan sel parenkim hati. Walaupun jumlah billirubin yang belum mengalami konjugasi masuk ke dalam hati tetap normal, tetapi karena adanya kerusakan sel hati dan duktuli empedu intrahepatik, maka terjadi kesukaran pengangkutan billirubin tersebut didalam hati. Selain itu juga terjadi kesulitan dalam hal konjugasi. Akibatnya billirubin tidak sempurna dikeluarkan melalui duktus hepatikus, karena terjadi retensi (akibat kerusakan sel ekskresi) dan regurgitasi pada duktuli, empedu belum mengalami konjugasi (bilirubin indirek), maupun bilirubin yang sudah mengalami konjugasi (bilirubin direk). Jadi ikterus yang timbul disini terutama disebabkan karena kesukaran dalam pengangkutan, konjugasi dan eksresi bilirubin.
Tinja mengandung sedikit sterkobilin oleh karena itu tinja tampak pucat (abolis). Karena bilirubin konjugasi larut dalam air, maka bilirubin dapat dieksresi ke dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubin urine dan kemih berwarna gelap. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat disertai peningkatan garam-garam empedu dalam darah yang akan menimbulkan gatal-gatal pada ikterus.
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Laboratorium
a Pemeriksaan pigmen
a urobilirubin direk
b bilirubun serum total
c bilirubin urine
d urobilinogen urine
e urobilinogen feses
b Pemeriksaan protein
a protein totel serum
b albumin serum
c globulin serum
d HbsAG
c Waktu protombin: respon waktu protombin terhadap vitamin K
Pemeriksaan serum transferase dan transaminase
a AST atau SGOT
b ALT atau SGPT
c LDH
d Amonia serum
2. Radiologi
a foto rontgen abdomen
b pemindahan hati denagn preparat technetium, emas, atau rose bengal yang berlabel radioaktif
c kolestogram dan kalangiogram
d arteriografi pembuluh darah seliaka
3. Pemeriksaan tambahan
a laparoskopi
b biopsi hati
6. KOMPLIKASI
a Ensefalopati hepatic terjadi pada kegagalan hati berat yang disebabkan oleh akumulasi amonia serta metabolik toksik merupakan stadium lanjut ensefalopati hepatik.
b Kerusakan jaringan paremkin hati yang meluas akan menyebabkan sirosis hepatis, penyakit ini lebih banyak ditemukan pada alkoholik.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Data dasar tergantung pada penyebab dan beratnya kerusakan/gangguan hati
1. Aktivitas
a Kelemahan
b Kelelahan
c Malaise
2. Sirkulasi
a Bradikardi ( hiperbilirubin berat )
b Ikterik pada sklera kulit, membran mukosa
3. Eliminasi
a Urine gelap
b Diare feses warna tanah liat
4. Makanan dan Cairan
a Anoreksia
b Berat badan menurun
c Mual dan muntah
d Peningkatan oedema
e Asites
5. Neurosensori
a Peka terhadap rangsang
b Cenderung tidur
c Letargi
d Asteriksis
6. Nyeri / Kenyamanan
a Kram abdomen
b Nyeri tekan pada kuadran kanan
c Mialgia
d Atralgia
e Sakit kepala
7. Keamanan
a Demam
b Urtikaria
c Lesi makulopopuler
d Eritema
e Splenomegali
f Pembesaran nodus servikal posterior
8. Seksualitas
g Pola hidup / perilaku meningkat resiko terpajan
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Beberapa masalah keperawatan yang mungkin muncul pada penderita hepatitis :
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan, perasaan tidak nyaman di kuadran kanan atas, gangguan absorbsi dan metabolisme pencernaan makanan, kegagalan masukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik karena anoreksia, mual dan muntah.
2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan pembengkakan hepar yang mengalami inflamasi hati dan bendungan vena porta.
3. Hypertermi berhubungan dengan invasi agent dalam sirkulasi darah sekunder terhadap inflamasi hepar
4. Keletihan berhubungan dengan proses inflamasi kronis sekunder terhadap hepatitis
5. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan pruritus sekunder terhadap akumulasi pigmen bilirubin dalam garam empedu
6. Risiko tinggi terhadap transmisi infeksi berhubungan dengan sifat menular dari agent virus
3. INTERVENSI
NO DIAGNOSA TUJUAN/KRITERIA INTERVENSI
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan, perasaan tidak nyaman di kuadran kanan atas, gangguan absorbsi dan metabolisme pencernaan makanan, kegagalan masukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik karena anoreksia, mual dan muntah.
Menunjukkan peningkatan berat badan mencapai tujuan dengan nilai laboratorium normal dan bebas dari tanda-tanda mal nutrisi.
a Ajarkan dan bantu klien untuk istirahat sebelum makan
b Awasi pemasukan diet/jumlah kalori, tawarkan makan sedikit tapi sering dan tawarkan pagi paling sering
c Pertahankan hygiene mulut yang baik sebelum makan dan sesudah makan
d Anjurkan makan pada posisi duduk tegak
e Berikan diit tinggi kalori, rendah lemak
2. Nyeri akut berhubungan dengan pembengkakan hepar yang mengalami inflamasi hati dan bendungan vena porta.
Menunjukkan tanda-tanda nyeri fisik dan perilaku dalam nyeri (tidak meringis kesakitan, menangis intensitas dan lokasinya)
a Kolaborasi dengan individu untuk menentukan metode yang dapat digunakan untuk intensitas nyeri
b Tunjukkan pada klien penerimaan tentang respon klien terhadap nyeri
c Berikan informasi akurat dan
d Jelaskan penyebab nyeri
e Tunjukkan berapa lama nyeri akan berakhir, bila diketahui
f Bahas dengan dokter penggunaan analgetik yang tak mengandung efek hepatotoksi
3.
Hypertermi berhubungan dengan invasi agent dalam sirkulasi darah sekunder terhadap inflamasi hepar.
Tidak terjadi peningkatan suhu
1. Monitor tanda vital : suhu badan
2. Ajarkan klien pentingnya mempertahankan cairan yang adekuat (sedikitnya 2000 l/hari) untuk mencegah dehidrasi, misalnya sari buah 2,5-3 liter/hari.
3. Berikan kompres hangat pada lipatan ketiak dan femur
4. Anjurkan klien untuk memakai pakaian yang menyerap keringat
4. Keletihan berhubungan dengan proses inflamasi kronis sekunder terhadap hepatitis
Pasien tmpak segar dan rileks 1. Jelaskan sebab-sebab keletihan individu
2. Sarankan klien untuk tirah baring
3. Bantu individu untuk mengidentifikasi kekuatan-kekuatan, kemampuan-kemampuan dan minat-minat
4. Analisa bersama-sama tingkat keletihan , aktivitas yang berhubungan dengan keletihan
5. Bantu untuk belajar tentang keterampilan koping yang efektif (bersikap asertif, teknik relaksasi)
5. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan pruritus sekunder terhadap akumulasi pigmen bilirubin dalam garam empedu
Jaringan kulit utuh, penurunan pruritus.
1. Pertahankan kebersihan tanpa menyebabkan kulit kering
2. Cegah penghangatan yang berlebihan dengan pertahankan suhu ruangan dingin dan kelembaban rendah, hindari pakaian terlalu tebal
3. Anjurkan tidak menggaruk, instruksikan klien untuk memberikan tekanan kuat pada area pruritus untuk tujuan menggaruk
4. Pertahankan kelembaban ruangan pada 30%-40% dan dingin
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito Lynda Jual, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta.
Gallo, Hudak, 1995, Keperawatan Kritis, EGC, Jakarta.
Hadim Sujono, 1999, Gastroenterologi, Alumni Bandung.
Moectyi, Sjahmien, 1997, Pengaturan Makanan dan Diit untuk Pertumbuhan Penyakit, Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
Price, Sylvia Anderson, Wilson, Lorraine Mc Carty, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, EGC, Jakarta.
Smeltzer, suzanna C, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner dan Suddart. Alih bahasa Agung Waluyo, Edisi 8, jakarta, EGC, 2001.
Susan, Martyn Tucker et al, Standar Perawatan Pasien, jakarta, EGC, 1998.
Reeves, Charlene, et al,Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa Joko Setiyono, Edisi I, jakarta, Salemba Medika.
Sjaifoellah Noer,H.M, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, edisi ketiga, Balai Penerbit FKUI, jakarta.
HIPERTENSI
I. PENGERTIAN
a. Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya diatas 90 mmHg.( Smith Tom, 1995 )
b. Menurut WHO, penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan sistolik lebih besar atau sama dengan 160 mmHg dan atau tekanan diastolic sama atau lebih besar 95 mmHg ( Kodim Nasrin, 2003 ).
c. Hipertensi dikategorikan ringan apabila tekanan diastoliknya antara 95 – 104 mmHg, hipertensi sedang jika tekanan diastoliknya antara 105 dan 114 mmHg, dan hipertensi berat bila tekanan diastoliknya 115 mmHg atau lebih. Pembagian ini berdasarkan peningkatan tekanan diastolic karena dianggap lebih serius dari peningkatan sistolik ( Smith Tom, 1995 ).
II. PENYEBAB
Hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2 golongan besar yaitu : (LanyGunawan,2001)
a) Hipertensi essensial ( hipertensi primer ) yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya
b) Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang di sebabkan oleh penyakit lain
Hipertensi primer terdapat pada lebih dari 90 % penderita hipertensi, sedangkan 10 % sisanya disebabkan oleh hipertensi sekunder.
Meskipun hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, data-data penelitian telah menemukan beberapa factor yang sering menyebabkan terjadinya hipertensi
Factor tersebut adalah sebagai berikut :
a) Faktor keturunan
Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi
b) Ciri perseorangan
Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah umur ( jika umur bertambah maka TD meningkat ), jenis kelamin ( laki-laki lebih tinggi dari perempuan ) dan ras ( ras kulit hitam lebih banyak dari kulit putih )
c) Kebiasaan hidup
Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi adalah konsumsi garam yang tinggi ( melebihi dari 30 gr ), kegemukan atau makan berlebihan, stress dan pengaruh lain misalnya merokok, minum alcohol, minum obat-obatan ( ephedrine, prednison, epineprin )
III. PATOFISIOLOGI
Mekanisme yang mengontrol konnstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi.
Individu dengan hipertensi sangat sensitive terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana system saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Rennin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua factor ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi.
Untuk pertimbangan gerontology. Perubahan structural dan fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung ( volume sekuncup ), mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer ( Brunner & Suddarth, 2002 ).
IV. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi : ( Edward K Chung, 1995
1. Tidak ada gejala
Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.
2. Gejala yang lazim
Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya ini merupakan gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang mencari pertolongan medis.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Riwayat dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh
2. Pemeriksaan retina
3. Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kerusakan organ seperti ginjal dan jantung
4. EKG untuk mengetahui hipertropi ventrikel kiri
5. Urinalisa untuk mengetahui protein dalam urin, darah, glukosa
6. Pemeriksaan : renogram, pielogram intravena arteriogram renal, pemeriksaan fungsi ginjal terpisah dan penentuan kadar urin.
7. Foto dada dan CT scan
VI. PENGKAJIAN
1. Aktivitas / istirahat
Gejala : kelemahan, letih, napas pendek, gaya hidup monoton
Tanda : frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung, takipnea
2. Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler
Tanda : Kenaikan TD, hipotensi postural, takhikardi, perubahan warna kulit, suhu dingin
3. Integritas Ego
Gejala :Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euphoria, factor stress multipel
Tanda : Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan kontinue perhatian, tangisan yang meledak, otot muka tegang, pernapasan menghela, peningkatan pola bicara
4. Eliminasi
Gejala : gangguan ginjal saat ini atau yang lalu
5. Makanan / Cairan
Gejala : makanan yang disukai yang dapat mencakup makanan tinggi garam, lemak dan kolesterol
Tanda : BB normal atau obesitas, adanya edema
6. Neurosensori
Gejala : keluhan pusing/pening, sakit kepala, berdenyut sakit kepala, berdenyut, gangguan penglihatan, episode epistaksis
Tanda :, perubahan orientasi, penurunan kekuatan genggaman, perubahan retinal optic
7. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : Angina, nyeri hilang timbul pada tungkai, sakit kepala oksipital berat, nyeri abdomen
8. Pernapasan
Gejala : dispnea yang berkaitan dengan aktivitas, takipnea, ortopnea, dispnea nocturnal proksimal, batuk dengan atau tanpa sputum, riwayat merokok
Tanda : distress respirasi/ penggunaan otot aksesoris pernapasan, bunyi napas tambahan, sianosis
9. Keamanan
Gejala : Gangguan koordinasi, cara jalan
Tanda : episode parestesia unilateral transien, hipotensi postural
10. Pembelajaran/Penyuluhan
Gejala : factor resiko keluarga ; hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung, DM , penyakit ginjal
Faktor resiko etnik, penggunaan pil KB atau hormon
VII. PENATALAKSANAAN
Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan pemeliharaan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg.(5) Prinsip pengelolaan penyakit hipertensi meliputi :
1. Terapi tanpa Obat
Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi ringan dan sebagai tindakan suportif pada hipertensi sedang dan berat. Terapi tanpa obat ini meliputi
A. Diet
Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah :
a. Restriksi garam secara moderat dari 10 gr/hr menjadi 5 gr/hr
b. Diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak jenuh
c. Penurunan berat badan
d. Penurunan asupan etanol
e. Menghentikan merokok
f. Diet tinggi kalium
B. Latihan Fisik
Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah olah raga yang mempunyai empat prinsip yaitu :
a. Macam olah raga yaitu isotonis dan dinamis seperti lari, jogging, bersepeda, berenang dan lain-lain
b. Intensitas olah raga yang baik antara 60-80 % dari kapasitas aerobik atau 72-87 % dari denyut nadi maksimal yang disebut zona latihan. Denyut nadi maksimal dapat ditentukan dengan rumus 220 – umur
c. Lamanya latihan berkisar antara 20 – 25 menit berada dalam zona latihan
d. Frekuensi latihan sebaiknya 3 x perminggu dan paling baik 5 x perminggu
C. Edukasi Psikologis
Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi meliputi :
a. Tehnik Biofeedback
Biofeedback adalah suatu tehnik yang dipakai untuk menunjukkan pada subyek tanda-tanda mengenai keadaan tubuh yang secara sadar oleh subyek dianggap tidak normal. Penerapan biofeedback terutama dipakai untuk mengatasigangguan somatik seperti nyeri kepala dan migrain, juga untuk gangguan psikologis seperti kecemasan dan ketegangan.
b. Tehnik relaksasi
Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan, dengan cara melatih penderita untuk dapat belajar membuat otot-otot dalam tubuh menjadi rileks
c. Pendidikan Kesehatan ( Penyuluhan )
Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang penyakit hipertensi dan pengelolaannya sehingga pasien dapat mempertahankan hidupnya dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
2. Terapi dengan Obat
Tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan darah saja tetapi juga mengurangi dan mencegah komplikasi akibat hipertensi agar penderita dapat bertambah kuat. Pengobatan hipertensi umumnya perlu dilakukan seumur hidup penderita. Pengobatan standar yang dianjurkan oleh Komite Dokter Ahli Hipertensi ( JOINT NATIONAL COMMITTEE ON DETECTION, EVALUATION AND TREATMENT OF HIGH BLOOD PRESSURE, USA, 1988 ) menyimpulkan bahwa obat diuretika, penyekat beta, antagonis kalsium, atau penghambat ACE dapat digunakan sebagai obat tunggal pertama dengan memperhatikan keadaan penderita dan penyakit lain yang ada pada penderita.
Pengobatannya meliputi :
a. Step 1 : Obat pilihan pertama : diuretika, beta blocker, Ca antagonis, ACE inhibitor
b. Step 2 : Alternatif yang bisa diberikan
a) Dosis obat pertama dinaikan
b) Diganti jenis lain dari obat pilihan pertama
c) Ditambah obat ke –2 jenis lain, dapat berupa diuretika , beta blocker, Ca antagonis, Alpa blocker, clonidin, reserphin, vasodilator
c. Step 3 : alternatif yang bisa ditempuh
1) Obat ke-2 diganti
2) Ditambah obat ke-3 jenis lain
d. Step 4 : alternatif pemberian obatnya
1) Ditambah obat ke-3 dan ke-4
2) Re-evaluasi dan konsultasi
3) Follow Up untuk mempertahankan terapi
Untuk mempertahankan terapi jangka panjang memerlukan interaksi dan komunikasi yang baik antara pasien dan petugas kesehatan ( perawat, dokter ) dengan cara pemberian pendidikan kesehatan. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam interaksi pasien dengan petugas kesehatan adalah sebagai berikut :
a. Setiap kali penderita periksa, penderita diberitahu hasil pengukuran tekanan darahnya
b. Bicarakan dengan penderita tujuan yang hendak dicapai mengenai tekanan darahnya
c. iskusikan dengan penderita bahwa hipertensi tidak dapat sembuh, namun bisa dikendalikan untuk dapat menurunkan morbiditas dan mortilitas
d. Yakinkan penderita bahwa penderita tidak dapat mengatakan tingginya tekanan darah atas dasar apa yang dirasakannya, tekanan darah hanya dapat diketahui dengan mengukur memakai alat tensimeter
e. Penderita tidak boleh menghentikan obat tanpa didiskusikan lebih dahulu
f. Sedapat mungkin tindakan terapi dimasukkan dalam cara hidup penderita
g. Ikutsertakan keluarga penderita dalam proses terapi
h. Pada penderita tertentu mungkin menguntungkan bila penderita atau keluarga dapat mengukur tekanan darahnya di rumah
i. Buatlah sesederhana mungkin pemakaian obat anti hipertensi misal 1 x sehari atau 2 x sehari
j. Diskusikan dengan penderita tentang obat-obat anti hipertensi, efek samping dan masalah-masalah yang mungkin terjadi
k. Yakinkan penderita kemungkinan perlunya memodifikasi dosis atau mengganti obat untuk mencapai efek samping minimal dan efektifitas maksimal
l. Usahakan biaya terapi seminimal mungkin
m. Untuk penderita yang kurang patuh, usahakan kunjungan lebih sering
n. Hubungi segera penderita, bila tidak datang pada waktu yang ditentukan.
Melihat pentingnya kepatuhan pasien dalam pengobatan maka sangat diperlukan sekali pengetahuan dan sikap pasien tentang pemahaman dan pelaksanaan pengobatan hipertensi.
VIII. DIAGNOSA KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA TUJUAN / KRITERIA INTERVENSI
1. Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan afterload, vasokonstriksi, iskemia miokard, hipertropi ventricular
Tujuan : Afterload tidak meningkat, tidak terjadi vasokonstriksi, tidak terjadi iskemia miokard
a. Pantau TD, ukur pada kedua tangan, gunakan manset dan tehnik yang tepat
b. Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer
c. Auskultasi tonus jantung dan bunyi napas
d. Amati warna kulit, kelembaban, suhu dan masa pengisian kapiler
e. Catat edema umum
f. Berikan lingkungan tenang, nyaman, kurangi aktivitas.
g. Pertahankan pembatasan aktivitas seperti istirahat ditemapt tidur/kursi
h. Bantu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai kebutuhan
i. akukan tindakan yang nyaman spt pijatan punggung dan leher
j. Anjurkan tehnik relaksasi, panduan imajinasi, aktivitas pengalihan
k. Pantau respon terhadap obat untuk mengontrol tekanan darah
l. Berikan pembatasan cairan dan diit natrium sesuai indikasi
m. Kolaborasi untuk pemberian obat-obatan sesuai indikasi
2. Nyeri ( sakit kepala ) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral Tujuan : Tekanan vaskuler serebral tidak meningkat a) Pertahankan tirah baring, lingkungan yang tenang, sedikit penerangan
b) Minimalkan gangguan lingkungan dan rangsangan
c) Batasi aktivitas
d) Hindari merokok atau menggunkan penggunaan nikotin
e) Beri obat analgesia dan sedasi sesuai pesanan
f) Beri tindakan yang menyenangkan sesuai indikasi seperti kompres es, posisi nyaman, tehnik relaksasi, bimbingan imajinasi, hindari konstipasi
3. Potensial perubahan perfusi jaringan: serebral, ginjal, jantung berhubungan dengan gangguan sirkulasi Tujuan : sirkulasi tubuh tidak terganggu a) Pertahankan tirah baring; tinggikan kepala tempat tidur
b) Kaji tekanan darah saat masuk pada kedua lengan; tidur, duduk dengan pemantau tekanan arteri jika tersedia
c) Pertahankan cairan dan obat-obatan sesuai pesanan
d) Amati adanya hipotensi mendadak
e) Ukur masukan dan pengeluaran
f) Pantau elektrolit, BUN, kreatinin sesuai pesanan
Ambulasi sesuai kemampuan; hibdari kelelahan
4. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit dan perawatan diri Tujuan ;Klien terpenuhi dalam informasi tentang hipertensi
a) Jelaskan sifat penyakit dan tujuan dari pengobatan dan prosedur
b) Jelaskan pentingnya lingkungan yang tenang, tidak penuh dengan stress
c) Diskusikan tentang obat-obatan : nama, dosis, waktu pemberian, tujuan dan efek samping atau efek toksik
d) Jelaskan perlunya menghindari pemakaian obat bebas tanpa pemeriksaan dokter
e) Diskusikan gejala kambuhan atau kemajuan penyulit untuk dilaporkan dokter : sakit kepala, pusing, pingsan, mual dan muntah.
f) Diskusikan pentingnya mempertahankan berat badan stabil
g) Diskusikan pentingnya menghindari kelelahan dan mengangkat berat
h) Diskusikan perlunya diet rendah kalori, rendah natrium sesuai pesanan
i) Jelaskan penetingnya mempertahankan pemasukan cairan yang tepat, jumlah yang diperbolehkan, pembatasan seperti kopi yang mengandung kafein, teh serta alcohol
Jelaskan perlunya menghindari konstipasi dan penahanan
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, Marilynn E, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan danPendokumentasian Perawatan pasien, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, 2000
Gunawan, Lany. Hipertensi : Tekanan Darah Tinggi , Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2001
Sobel, Barry J, et all. Hipertensi : Pedoman Klinis Diagnosis dan Terapi, Jakarta, Penerbit
Hipokrates, 1999
Kodim Nasrin. Hipertensi : Yang Besar Yang Diabaikan, @ tempointeraktif.com, 2003
Smith Tom. Tekanan darah Tinggi : Mengapa terjadi, Bagaimana mengatasinya ?, Jakarta, Penerbit Arcan, 1995
Semple Peter. Tekanan Darah Tinggi, Alih Bahasa : Meitasari Tjandrasa Jakarta, Penerbit Arcan, 1996
Brunner & Suddarth. Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah Vol 2, Jakarta, EGC, 2002
Chung, Edward.K. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskuler, Edisi III, diterjemahkan oleh Petrus Andryanto, Jakarta, Buku Kedokteran EGC, 1995
Marvyn, Leonard. Hipertensi : Pengendalian lewat vitamin, gizi dan diet, Jakarta, Penerbit Arcan, 1995
DECOMPENSASI CORDIS / GAGAL JANTUNG KONGESTIF
A. PENGERTIAN
Suatu kondisi bila cadangan jantung normal (peningkatan frekwensi jantung, dilatasa, hipertrophi, peningkatan isi sekuncup) untuk berespon terhadap stress tidak adekwat untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh, jantung gagal untuk melakukan tugasnya sebagai pompa, dan akibatnya gagal jantung.
B. PENYEBAB KEGAGALAN
a Disritmia (bradikardi,tachicardi)
b Malfungsi katub (stenosis katub pulmonal/aortik)
c Abnormalitas otot jantung (kardiomiopati, aterosklerosis koroner)
d Angina pectoris, berlanjut infark miocard akut.
e Ruptur miokard
C. RESPON TERHADAP KEGAGALAN
1. Peningkatan tonus simpatis
Peningkatan sistem saraf simpatis yang mempengaruhi arteri vena jantung. Akibatnya meningkatkan aliran balik vena ke jantung dan peningkatan kontraksi. Tonus simpatis membantu mempertahankan tekanan darah normal.
2. Retensi air dan natrium
Bila ginjal mendeteksi adanya penurunan volume darah yang ada untuk filtrasi, ginjal merespon dengan manahan natrium dan air dengan cara demikian mencoba untuk meningkatkan volume darah central dan aliran balik vena.
D. TANDA DAN GEJALA GAGAL JANTUNG
1. Kegagalan ventrikel kiri
Tanda dan gejala :
a Kongesti vaskuler pulmonal
b Dispnoe, nyeri dada dan syok
c Ortopnoe, dispnoe nocturnal paroxysmal
d Batuk iritasi, edema pulmonal akut
e Penurunan curah jantung
f Gallop atrial –S4, gallop ventrikel-S1
g Crackles paru
h Disritmia pulsus alterans
i Peningkatan BB
j Pernafasan cyne stokes
k Bukti-bukti radiografi tentang kongesti vaskuler pulmonal
2. kegagalan ventrikel kanan
Tanda dan gejala :
a Curah jantung rendah
b Distensi vena jugularis
c Edema
d Disritmia
e S3 dan S4 ventrikel kanan
f Hipersonor pada perkusi
g Immobilisasi diafragma rendah
h Peningkatan diameter pada antero posterial
Klasifikasi gagal jantung (menurut Killip)
1. Tidak gagal
2. Gagal ringan sampai menengah
3. Edema pulmonal akut
4. Syock kardiogenik
Sifat nyeri pada pasien dengan decompensasi cordis
1. Akut
Timbul secara mendadak dan segera lenyap bila penyebab hilang. Ditandai oleh : nyeri seperti tertusuk benda tajam, pucat, disritmia, tanda syock kardiogenik (akral dingin gan perfusi turun)
2. Kronis
Nyeri yang terjadi berkepanjangan hingga berbulan-bulan. Penyebab sulit dijelaskan dan gejala obyektif lidak jelas umumnya disertai dengan gangguan kepribadian serta kemampuan fungsional
Derajat nyeri
I. Ringan : tidak mengganggu ADL dan pasien dapat tidur
II. Sedang : mengganggu ADL dan pasien dapat tidur
III. Berat : mengganggu ADL dan pasien tidak dapat tidur
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a EKG : Hipertropy atrial dan ventricular, penyipangan aksis,disritmia dan kerusakan pola
b Scan jantung : tindakan penyuntikan mfraksi dan memperkirakan gerakan dinding
c Kateterisasi jantung : Tekanan abnormal merupakan indikasi untuk membedakan gagal jantung sisi kanan dan kiri stenosis katup insufisiensi
d Enzim hepar : Meningkat dalam gagal/ kongesti hepar
e Elektrolit : mungkin berubah karena perpindahan cairan
f BUN , kreatinin : peningkatan BUN merupakan tanda penurunan perfusi ginjal
g Rontgen dada : dapat menunjukan pembesaran jantung atau perubahan pembuluh darah mencerminkan peningkatan tekanan pulmonal
F. PENATALAKSANAAN GAGAL JANTUNG
Bertujuan :
1. Menurunkan kerja jantung
2. Meningkatkan gurah jantung dan kontraktilitas miocard
3. Menurunkan retensi garam dan air
Pelaksanaannya meliputi :
1) Tirah Baring
Kebutuhan pemompaan jantung diturunkan, untuk gagal jantung kongesti tahap akut dan sulit disembuhkan.
2) Pemberian diuretik
Akan menurunkan preload dan kerja jantung
3) Pemberian morphin
Untuk mengatasi edema pulmonal akut, vasodilatasi perifer, menurunkan aliran balik vena dan kerja jantung, menghilangkan ansietas karena dispnoe berat.
4) Reduksi volume darah sirkulasi
Dengan metode plebotomi, yaitu suatu prosedur yang bermanfaat pada pasien dengan edema pulmonal akut karena tindakan ini dengan segera memindahkan volume darah dari sirkulasi sentral, menurunkan aliran balik vena dan tekanan pengisian serta sebaliknya menciptakan masalah hemodinamik segera.
5) Terapi nitrit
Untuk vasodilatasi perifer guna menurunkan afterload.
6) Terapi digitalis
Obat utama untuk meningkatkan kontraktilitas (inotropik), memperlambat frekwensi ventrikel, peningkatam efisiensi jantung.
7) Inotropik positif
a Dopamin
Pada dosis kecil 2,5 s/d 5 mg/kg akan merangsang alpha-adrenergik beta-adrenergik. Dan reseptor dopamine ini mengakibatkankeluarnya katekolamin dari sisi penyimpanan saraf. Memperbaiki kontraktilitas curah jantung isi sekuncup. Dilatasi ginjal-serebral dan pembuluh koroner. Pada dosis maximal 10-20 mg/kg BB akan menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban kerja jantung.
b Dobutamin
Merangsang hanya betha adrenergik. Dosis mirip dopamine memperbaiki isi sekuncup, curah jantung dengan sedikit vasokonstriksi dan tachicardi.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Aktifitas
Gejala :keletihan terus menerus sepanjang hari
Insomnia
Tanda : Gelisah
Perubahan tanda vital
2. Sirkulasi
Gejala : riwayat hipertensi miokard infak penyakit katup jantung
Tanda : tensi mungkain rendah
Tekanan nadi sempit menunjukan penurunan volume sukuncup
Takikardia , Disritmia ,
Nadi apical berubah posisi secara inferior ke kiri
Terdapat bunyi S3 S1 dan S2 munghkin lemah
3. Eleminasi
Gejala : Penurunan berkemih
Berkemih malam hari ( nocturia )
4. Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia , mual , muntah
Pembengkakan pada ekstremitas bawah
Penambahan berat badan
5. Pernafasan
Gejala : Dipnea saat aktivitas
Batuk dengan / tanpa sputum
Penggunaan alat bantuan pernafasan
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan
a Perubahan kontraktilitas miokard
b Perubahan frekuensi irama
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunya laju filtrasi glomerolus meningkatnya produksi ADH dan retensi natium
3. Intoleransi aktifitas yang berhubungan dengan
Ketidakmampuan untuk memenuhi metabolisme otot rangka sekunder terhadap penurunan curah jantung,:
4. Kurang pengetahuan program pengobatan berhubungan dengan kurang informasi
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA TUJUAN/KRITERIA INTERVENSI
1. Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan
a Perubahan kontraktilitas miokard
b Perubahan frekuensi irama Klien memperlihatkan tanda-tanda stabilitas haemodinamik, dengan kriteria frekuensi denyut jantung stabil dalam batas normal ( 70x/mnt) tekanan darah dbn (120/80 mmHg 10 mmHg)
a. Pantau tanda-tanda vital (terutama T/Dengan, DJ).
b. Auskultyasi nadi apical
c. Catat bunyi jantung
d. Palpasi nadi perifer
e. Pantau haluan urine
f. Kolaborasi dengan medis untuk pemberian obat-obatan
Nitropusin (vasodilator)
Digitalis
Cek lab CK CKMB – LDH
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunya laju filtrasi glomerolus meningkatnya produksi ADH dan retensi natium Klien mengetahui jumlah cairan yang masuk dan keluar
Berat baadan stabil
Tidak adanya oedema a Pantau haluan urin catat jumlah dan warna setiap pasi berkemih
b Hitung keseimbangan cairan masuk dan keluar
c Ubah posisi dengan sering, tinggikan kaki8 bila duduk
d Auskultasi bunyi nafas cata penurunan atau adanya bunyi tambahan
e Pantau tanda vital
3. 2. Intoleransi aktifitas yang b/d
Ketidakmampuan untuk memenuhi metabolisme otot rangka sekunder terhadap penurunan curah jantung, ditandai dengan:
Pasien menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktifitas dengan kriteria:
a Klien dapat memenuhi ADL ringan
b Klien tidak cepat lelah a Pantau ulang tanda-tanda vital (terutama TD, T, N dan RR) sebelum, selama, setelah, istirahat 5" dari ambulasi
b Pertahankan pasien tirah baring selama fase akut/awal sakit
c Nilai tingkat kemampuan ambulasi pasien sesuai kemampuan
d Bicarakan dengan keluarga/pasien tentang jadwal/program ambulasi sesuai toleransi pasien
e Terangkan pada keluarga/pasien tentang manfaat tirah baring dan waktu istirahat yang cukup
f Kolaborasi
c Fisioterapi bila ada indikasi
d Terapi O2 bila ada indikasi (Dyspnoe, orthopnoe)
4. Kurang pengetahuan program pengobatan berhubungan dengan kurang informasi Klien dapat mengerti tentang proses pengobatan penyakitnya setelah mendapat penjelasan dari petugas a. Diskusikan tentang fungsi jantung normal
b. Diskusikan tentang tujuan aturan dan efek samping obat
c. Kolaborasi denagan tim gizi untuk penjelasan tentang diet pasien
d. Kaji pengetahuan klien tentang penyakitnya
DAFTAR PUSTAKA
Dangoes Marilyn E. 1993. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. EGC, Jakarta.
Lewis T, Disease of The Heart, New York, Macmillan 1993
Morris D. C. et.al, The Recognation and treatment of Myocardial Infarction and It’sComplication.
Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, edisi VI, volume I : Hudak dan Gallo Hal. 360-379, Penerbit buku kedokteran.
ASTHMA BRONKHIALE
A. Pengertian
a. Asthma adalah suatu gangguan yang komplek dari bronkial yang dikarakteristikan oleh periode bronkospasme (kontraksi spasme yang lama pada jalan nafas). (Polaski : 1996).
b. Asthma adalah gangguan pada jalan nafas bronkial yang dikateristikan dengan bronkospasme yang reversibel. (Joyce M. Black : 1996).
c. Asthma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronkhi berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu. (Smelzer Suzanne : 2001).
d. Asthma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon.
trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan (The American Thoracic Society).
B. Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asthma bronkhial.
1. Faktor predisposisi
o Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asthma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
2. Faktor presipitasi
o Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
a) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan.
Seperti : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
b) Ingestan, yang masuk melalui mulut.
Seperti : makanan dan obat-obatan.
c) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit.
seperti : perhiasan, logam dan jam tangan.
Perubahan cuaca.
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
Stress.
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
a) Lingkungan kerja.
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
b) Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat.
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
C. Klasifikasi Asthma
Berdasarkan penyebabnya, asthma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asthma ekstrinsik.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asthma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.
D. Patofisiologi
Asthma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara.
Reaksi yang timbul pada asthma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin.
Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat.
Pada asthma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi.
Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.
E. Manifestasi Klinik
Manifestasi Klinik pada pasien asthma adalah batuk, dyspne, dari wheezing.
Dan pada sebagian penderita disertai dengan rasa nyeri dada pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, sedangkan waktu serangan tampak penderita bernafas cepat, dalam, gelisah, duduk dengan tangan menyanggah ke depan serta tampak otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras.
Ada beberapa tingkatan penderita asma yaitu :
1. Tingkat I :
Secara klinis normal tanpa kelainan pemeriksaan fisik dan fungsi paru.
Timbul bila ada faktor pencetus baik di dapat alamiah maupun dengan test provokasi bronkial di laboratorium.
2. Tingkat II :
Tanpa keluhan dan kelainan pemeriksaan fisik tapi fungsi paru menunjukkan adanya tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
Banyak dijumpai pada klien setelah sembuh serangan.
3. Tingkat III :
Tanpa keluhan.
Pemeriksaan fisik dan fungsi paru menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
Penderita sudah sembuh dan bila obat tidak diteruskan mudah diserang kembali.
4. Tingkat IV :
Klien mengeluh batuk, sesak nafas dan nafas berbunyi wheezing.
Pemeriksaan fisik dan fungsi paru didapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
5. Tingkat V :
Status asmatikus yaitu suatu keadaan darurat medis berupa serangan asma akut yang berat bersifat refrator sementara terhadap pengobatan yang lazim dipakai.
Asma pada dasarnya merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel. Pada asma yang berat dapat timbul gejala seperti : Kontraksi otot-otot pernafasan, cyanosis, gangguan kesadaran, penderita tampak letih, takikardi.
F. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium.
a. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
i. Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinopil.
ii. Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang
bronkus.
iii. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
iv. Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
b. Pemeriksaan darah.
1) Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
2) Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
3) Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi
4) Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
2. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan
menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun.
Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
a. Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
b. Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
c. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru.
d. Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
e. Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
3. Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
4. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
a. Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation.
b. Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right bundle branch block).
c. Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative.
5. Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
6. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah
pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asthma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Banyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.
G. Penatalaksanaan
1. Pengobatan farmakologik :
o Bronkodilator : obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2 golongan :
1. Simpatomimetik/ andrenergik (Adrenalin dan efedrin).
Nama obat :
Orsiprenalin (Alupent)
Fenoterol (berotec)
Terbutalin (bricasma)
Obat-obat golongan simpatomimetik tersedia dalam bentuk tablet, sirup,suntikan dan semprotan. Yang berupa semprotan: MDI (Metered dose inhaler). Ada juga yang berbentuk bubuk halus yang dihirup (Ventolin Diskhaler dan Bricasma Turbuhaler) atau cairan broncodilator (Alupent, Berotec, brivasma serts Ventolin) yang oleh alat khusus diubah menjadi aerosol (partikel-partikel yang sangat halus ) untuk selanjutnya dihirup.
2. Santin (teofilin)
Nama obat :
Aminofilin (Amicam supp)
Aminofilin (Euphilin Retard)
Teofilin (Amilex)
Efek dari teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi cara
kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya
saling memperkuat.
Cara pemakaian : Bentuk suntikan teofillin / aminofilin dipakai pada serangan asma akut, dan disuntikan perlahan-lahan langsung ke pembuluh darah. Karena sering merangsang lambung bentuk tablet atau sirupnya sebaiknya diminum sesudah makan. Itulah sebabnya penderita yang mempunyai sakit lambung sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini. Teofilin ada juga dalam bentuk supositoria yang cara pemakaiannya dimasukkan ke dalam anus. Supositoria ini digunakan jika penderita karena sesuatu hal tidak dapat minum teofilin (misalnya muntah atau lambungnya kering).
o Kromalin
Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat pencegah serangan asma. Manfaatnya adalah untuk penderita asma alergi terutama anak-anak. Kromalin biasanya diberikan bersama-sama obat anti asma yang lain, dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian satu bulan.
o Ketolifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin. Biasanya diberikan dengan dosis dua kali 1mg / hari. Keuntungnan obat ini adalah
dapat diberika secara oral.
2. Pengobatan non farmakologik:
o Memberikan penyuluhan.
o Menghindari faktor pencetus.
o Pemberian cairan.
o Fisiotherapy.
o Beri O2 bila perlu.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ASTHMA BRONKHIALE
A. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan yang lalu:
o Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya.
o Kaji riwayat reaksi alergi atau sensitifitas terhadap zat/ faktor lingkungan.
o Kaji riwayat pekerjaan pasien.
2. Aktivitas
o Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernapas.
o Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari.
o Tidur dalam posisi duduk tinggi.
3. Pernapasan
o Dipsnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan.
o Napas memburuk ketika pasien berbaring terlentang ditempat tidur.
o Menggunakan obat bantu pernapasan, misalnya: meninggikan bahu, melebarkan hidung.
o Adanya bunyi napas mengi.
o Adanya batuk berulang.
4. Sirkulasi
o Adanya peningkatan tekanan darah.
o Adanya peningkatan frekuensi jantung.
o Warna kulit atau membran mukosa normal/ abu-abu/ sianosis.
o Kemerahan atau berkeringat.
5. Integritas ego
o Ansietas
o Ketakutan
o Peka rangsangan
o Gelisah
6. Asupan nutrisi
o Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan.
o Penurunan berat badan karena anoreksia.
7. Hubungan sosal
o Keterbatasan mobilitas fisik.
o Susah bicara atau bicara terbata-bata.
o Adanya ketergantungan pada orang lain.
8. Seksualitas
o Penurunan libido.
B. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul
1. Tidak efektifnya kebersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi mukus.
2. Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.
3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.
C. Intervensi
Diagnosa Keperawatan 1 :
Tidak efektifnya kebersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi mukus.
Tujuan : Jalan nafas kembali efektif.
Kriteria Hasil :
• Sesak berkurang
• Batuk berkurang
• Klien dapat mengeluarkan sputum
• Wheezing berkurang/hilang
• TTV dalam batas normal keadaan umum baik.
Intervensi :
• Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, misalnya : mengi, erekeis, ronkhi.
R/ Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas. Bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi (empysema), tak ada fungsi nafas (asma berat).
• Kaji / pantau frekuensi pernafasan catat rasio inspirasi dan ekspirasi.
R/ Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dpat ditemukan pada penerimaan selama strest/adanya proses infeksi akut. Pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang dibanding inspirasi.
• Kaji pasien untuk posisi yang aman, misalnya : peninggian kepala tidak duduk pada sandaran.
R/ Peninggian kepala tidak mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi.
• Observasi karakteristik batuk, menetap, batuk pendek, basah. Bantu tindakan untuk keefektipan memperbaiki upaya batuk.
R/ batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya pada klien lansia, sakit akut/kelemahan.
• Berikan air hangat.
R/ penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
• Kolaborasi obat sesuai indikasi.Bronkodilator spiriva 1×1 (inhalasi).
R/ Membebaskan spasme jalan nafas, mengi dan produksi mukosa.
Diagnosa Keperawatan 2 :
Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.
Tujuan : Pola nafas kembali efektif.
Kriteria Hasil :
• Pola nafas efektif
• Bunyi nafas normal atau bersih
• TTV dalam batas normal
• Batuk berkurang
• Ekspansi paru mengembang.
Intervensi :
• Kaji frekuensi kedalaman pernafasan dan ekspansi dada. Catat upaya pernafasan termasuk penggunaan otot bantu pernafasan / pelebaran nasal.
R/ Kecepatan biasanya mencapai kedalaman pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal nafas. Expansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis dan atau nyeri dada.
• Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas seperti crekels, mengi.
R/ ronki dan mengi menyertai obstruksi jalan nafas / kegagalan pernafasan.
• Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi.
R/ Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernafasan.
• Observasi pola batuk dan karakter sekret.
R/ Kongesti alveolar mengakibatkan batuk sering/iritasi.
• Dorong/bantu pasien dalam nafas dan latihan batuk.
R/ Dapat meningkatkan/banyaknya sputum dimana gangguan ventilasi dan ditambah ketidak nyaman upaya bernafas.
• Kolaborasi
o Berikan oksigen tambahan.
o Berikan humidifikasi tambahan misalnya : nebulizer.
R/ Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas, memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu pengenceran sekret.
Diagnosa Keperawatan 3 :
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi.
Kriteria Hasil :
• Keadaan umum baik
• Mukosa bibir lembab
• Nafsu makan baik
• Tekstur kulit baik
• Klien menghabiskan porsi makan yang disediakan
• Bising usus 6-12 kali/menit
• Berat badan dalam batas normal.
Intervensi :
• Kaji status nutrisi klien (tekstur kulit, rambut, konjungtiva).
R/ Menentukan dan membantu dalam intervensi lanjutnya.
• Jelaskan pada klien tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh.
R/ Petikan pengetahuan klien dapat menaikan partisi bagi klien dalam asuhan keperawatan.
• Timbang berat badan dan tinggi badan.
R/ Penurunan berat badan yang signipikan merupakan indikator kurangnya nutrisi.
• Anjurkan klien minum air hangat saat makan.
R/ Air hangat dapat mengurangi mual.
• Anjurkan klien makan sedikit-sedikit tapi sering.
R/ memenuhi kebutuhan nutrisi klien.
• Kolaborasi
o Consul dengan tim gizi/tim mendukung nutrisi.
R/ Menentukan kalori individu dan kebutuhan nutrisi dalam pembatasan.
o Berikan obat sesuai indikasi.
o Vitamin B squrb 2×1.
R/ Defisiensi vitamin dapat terjadi bila protein dibatasi.
o Antiemetik rantis 2×1
R/ untuk menghilangkan mual / muntah.
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, K. (1990) “Asma Bronchiale”, dikutip dari Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta : FK UI.
Brunner & Suddart (2002) “Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah”, Jakarta : AGC.
Crockett, A. (1997) “Penanganan Asma dalam Penyakit Primer”, Jakarta : Hipocrates.
Crompton, G. (1980) “Diagnosis and Management of Respiratory Disease”, Blacwell Scientific Publication.
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Geissler, A. C. (2000) “Rencana Asuhan Keperawatan”, Jakarta : EGC.
Guyton & Hall (1997) “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, Jakarta : EGC.
Hudak & Gallo (1997) “Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik”, Volume 1, Jakarta : EGC.
Price, S & Wilson, L. M. (1995) “Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit”, Jakarta : EGC.
Pullen, R. L. (1995) “Pulmonary Disease”, Philadelpia : Lea & Febiger.
Rab, T. (1996) “Ilmu Penyakit Paru”, Jakarta : Hipokrates.
Rab, T. (1998) “Agenda Gawat Darurat”, Jakarta : Hipokrates.
Reeves, C. J., Roux, G & Lockhart, R. (1999) “Keperawatan Medikal Bedah”, Buku Satu, Jakarta : Salemba Medika.
Staff Pengajar FK UI (1997) “Ilmu Kesehatan Anak”, Jakarta : Info Medika.
Sundaru, H. (1995) “Asma ; Apa dan Bagaimana Pengobatannya”, Jakarta : FK UI.
ASKEP DHF (dengue Haemoragic Fever )
1.Pengertian
DHF (Dengue Haemoragic fever) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti (betina). (Christantie Effendy, 1995).
2.Etiologi
Virus dengue tergolong dalam famili/suku/grup flaviviridae dan dikenal ada 4 serotipe. Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke-III, sedangkan dengue 3 dan 4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953 – 1954.
Virus dengue berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietileter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 700 C. Dengue merupakan serotipe yang paling banyak beredar.
3.Patofisiologi
Fenomena patologis yang utama pada penderita DHF adalah meningkatnya permeabilitas dinding kapiler yang mengakibatkan terjadinya perembesan plasma ke ruang ekstra seluler.
Hal pertama yang terjadi stelah virus masuk ke dalam tubuh adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran limpa (Splenomegali).
Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok).
Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukkan atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena.
Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan dengan ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan pericard yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus.
Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma telah teratasi, sehingga pemberian cairan intravena harus dikurangi kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung, sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan.
Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik. Gangguan hemostasis pada DHF menyangkut 3 faktor yaitu : perubahan vaskuler, trombositopenia dan gangguan koagulasi.
Pada otopsi penderita DHF, ditemukan tanda-tanda perdarahan hampir di seluruh tubuh, seperti di kulit, paru, saluran pencernaan dan jaringan adrenal.
4.Gambaran Klinis
Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa inkubasi anatara 13 – 15 hari, tetapi rata-rata 5 – 8 hari. Gejala klinik timbul secara mendadak berupa suhu tinggi, nyeri pada otot dan tulang, mual, kadang-kadang muntah dan batuk ringan. Sakit kepala dapat menyeluruh atau berpusat pada daerah supra orbital dan retroorbital. Nyeri di bagian otot terutama dirasakan bila otot perut ditekan. Sekitar mata mungkin ditemukan pembengkakan, lakrimasi, fotofobia, otot-otot sekitar mata terasa pegal.
Eksantem yang klasik ditemukan dalam 2 fase, mula-mula pada awal demam (6 – 12 jam sebelum suhu naik pertama kali), terlihat jelas di muka dan dada yang berlangsung selama beberapa jam dan biasanya tidak diperhatikan oleh pasien.
Ruam berikutnya mulai antara hari 3 – 6, mula – mula berbentuk makula besar yang kemudian bersatu mencuat kembali, serta kemudian timbul bercak-bercak petekia. Pada dasarnya hal ini terlihat pada lengan dan kaki, kemudian menjalar ke seluruh tubuh.
Pada saat suhu turun ke normal, ruam ini berkurang dan cepat menghilang, bekas-bekasnya kadang terasa gatal. Nadi pasien mula-mula cepat dan menjadi normal atau lebih lambat pada hari ke-4 dan ke-5. Bradikardi dapat menetap untuk beberapa hari dalam masa penyembuhan.
Gejala perdarahan mulai pada hari ke-3 atau ke-5 berupa petekia, purpura, ekimosis, hematemesis, epistaksis. Juga kadang terjadi syok yang biasanya dijumpai pada saat demam telah menurun antara hari ke-3 dan ke-7 dengan tanda : anak menjadi makin lemah, ujung jari, telinga, hidung teraba dingin dan lembab, denyut nadi terasa cepat, kecil dan tekanan darah menurun dengan tekanan sistolik 80 mmHg atau kurang.
5.Diagnosis
Patokan WHO (1986) untuk menegakkan diagnosis DHF adalah sebagai berikut :
a. Demam akut, yang tetap tinggi selama 2 – 7 hari kemudian turun secara lisis demam disertai gejala tidak spesifik, seperti anoreksia, lemah, nyeri.
b. Manifestasi perdarahan :
1) Uji tourniquet positif
2) Petekia, purpura, ekimosis
3) Epistaksis, perdarahan gusi
4) Hematemesis, melena.
c. Pembesaran hati yang nyeri tekan, tanpa ikterus.
d. Dengan atau tanpa renjatan.
Renjatan biasanya terjadi pada saat demam turun (hari ke-3 dan hari ke-7 sakit ). Renjatan yang terjadi pada saat demam biasanya mempunyai prognosis buruk.
e. Kenaikan nilai Hematokrit / Hemokonsentrasi
6.Klasifikasi
DHF diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit, secara klinis dibagi menjadi 4 derajat (Menurut WHO, 1986) :
1. Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan, , trombositopenia dan hemokonsentrasi.uji tourniquet
2. Derajat II
Derajat I dan disertai pula perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain.
3. Derajat III
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan daerah rendah (hipotensi), gelisah, cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari (tanda-tanda dini renjatan).
4. Renjatan berat (DSS) dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.
7.Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium
Terjadi trombositopenia (100.000/ml atau kurang) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dan meningginya nilai hematokrit sebanyak 20 % atau lebih dibandingkan nila hematokrit pada masa konvalesen.
Pada pasien dengan 2 atau 3 patokan klinis disertai adanya trombositopenia dan hemokonsentrasi tersebut sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis DHF dengan tepat.Juga dijumpai leukopenia yang akan terlihat pada hari ke-2 atau ke-3 dan titik terendah pada saat peningkatan suhu kedua kalinya leukopenia timbul karena berkurangnya limfosit pada saat peningkatan suhu pertama kali.
8.Diagnosa Banding
Gambaran klinis DHF seringkali mirip dengan beberapa penyakit lain seperti :
a. Demam chiku nguya.
Dimana serangan demam lebih mendadak dan lebih pendek tapi suhu di atas 400C disertai ruam dan infeksi konjungtiva ada rasa nyeri sendi dan otot.
b. Demam tyfoid
Biasanya timbul tanda klinis khas seperti pola demam, bradikardi relatif, adanya leukopenia, limfositosis relatif.
c. Anemia aplastik
Penderita tampak anemis, timbul juga perdarahan pada stadium lanjut, demam timbul karena infeksi sekunder, pemeriksaan darah tepi menunjukkan pansitopenia.
d. Purpura trombositopenia idiopati (ITP)
Purpura umumnya terlihat lebih menyeluruh, demam lebih cepat menghilang, tidak terjadi hemokonsentrasi.
9.Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan DHF adalah sebagai berikut :
1. Tirah baring atau istirahat baring.
2. Diet makan lunak.
3. Minum banyak (2 – 2,5 liter/24 jam) dapat berupa : susu, teh manis, sirup dan beri penderita sedikit oralit, pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi penderita DHF.
4. Pemberian cairan intravena (biasanya ringer laktat, NaCl Faali) merupakan cairan yang paling sering digunakan.
5. Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernafasan) jika kondisi pasien memburuk, observasi ketat tiap jam.
6. Periksa Hb, Ht dan trombosit setiap hari.
7. Pemberian obat antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminopen.
8. Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
9. Pemberian antibiotik bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.
10. Monitor tanda-tanda dan renjatan meliputi keadaan umum, perubahan tanda-tanda vital, hasil pemeriksaan laboratorium yang memburuk.
11. Bila timbul kejang dapat diberikan Diazepam.
Pada kasus dengan renjatan pasien dirawat di perawatan intensif dan segera dipasang infus sebagai pengganti cairan yang hilang dan bila tidak tampak perbaikan diberikan plasma atau plasma ekspander atau dekstran sebanyak 20 – 30 ml/kg BB.Pemberian cairan intravena baik plasma maupun elektrolit dipertahankan 12 – 48 jam setelah renjatan teratasi. Apabila renjatan telah teratasi nadi sudah teraba jelas, amplitudo nadi cukup besar, tekanan sistolik 20 mmHg, kecepatan plasma biasanya dikurangi menjadi 10 ml/kg BB/jam.
Transfusi darah diberikan pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal yang hebat. Indikasi pemberian transfusi pada penderita DHF yaitu jika ada perdarahan yang jelas secara klinis dan abdomen yang makin tegang dengan penurunan Hb yang mencolok.
Pada DBD tanpa renjatan hanya diberi banyak minum yaitu 1½-2 liter dalam 24 jam. Cara pemberian sedikit demi sedikit dengan melibatkan orang tua. Infus diberikan pada pasien DBD tanpa renjatan apabila :
a. Pasien terus menerus muntah, tidak dapat diberikan minum sehingga mengancam terjadinya dehidrasi.
b. Hematokrit yang cenderung mengikat.
10.Pencegahan
Prinsip yang tepat dalam pencegahan DHF ialah sebagai berikut :
1. Memanfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh alamiah dengan melaksanakan pemberantasan vektor pada saat sedikit terdapatnya kasus DHF.
2. Memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vektor pada tingkat sangat rendah untuk memberikan kesempatan penderita viremia sembuh secara spontan.
3. Mengusahakan pemberantasan vektor di pusat daerah penyebaran yaitu di sekolah, rumah sakit termasuk pula daerah penyangga sekitarnya.
4. Mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah berpotensi penularan tinggi.
Ada 2 macam pemberantasan vektor antara lain :
a. Menggunakan insektisida.
Yang lazim digunakan dalam program pemberantasan demam berdarah dengue adalah malathion untuk membunuh nyamuk dewasa dan temephos (abate) untuk membunuh jentik (larvasida). Cara penggunaan malathion ialah dengan pengasapan atau pengabutan. Cara penggunaan temephos (abate) ialah dengan pasir abate ke dalam sarang-sarang nyamuk aedes yaitu bejana tempat penampungan air bersih, dosis yang digunakan ialah 1 ppm atau 1 gram abate SG 1 % per 10 liter air.
b. Tanpa insektisida
Caranya adalah :
a) Menguras bak mandi, tempayan dan tempat penampungan air minimal 1 x seminggu (perkembangan telur nyamuk lamanya 7 – 10 hari).
b) Menutup tempat penampungan air rapat-rapat.
c) Membersihkan halaman rumah dari kaleng bekas, botol pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk bersarang.
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Dalam asuhan keperawatan digunakan pendekatan proses keperawatan sebagai cara untuk mengatasi masalah klien.
Proses keperawatan terdiri dari 5 tahap yaitu : pengkajian keperawatan, identifikasi, analisa masalah (diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi).
1. Pengkajian Keperawatan
Dalam memberikan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama dan hal penting dilakukan oleh perawat. Hasil pengkajian yang dilakukan perawat terkumpul dalam bentuk data. Adapun metode atau cara pengumpulan data yang dilakukan dalam pengkajian : wawancara, pemeriksaan (fisik, laboratorium, rontgen), observasi, konsultasi.
a. Data subyektif
Adalah data yang dikumpulkan berdasarkan keluhan pasien atau keluarga pada pasien DHF, data subyektif yang sering ditemukan menurut Christianti Effendy, 1995 yaitu :
a) Lemah.
b) Panas atau demam.
c) Sakit kepala.
d) Anoreksia, mual, haus, sakit saat menelan.
e) Nyeri ulu hati.
f) Nyeri pada otot dan sendi.
g) Pegal-pegal pada seluruh tubuh.
h) Konstipasi (sembelit).
b. Data obyektif :
Adalah data yang diperoleh berdasarkan pengamatan perawat atas kondisi pasien.
Data obyektif yang sering dijumpai pada penderita DHF antara lain :
a) Suhu tubuh tinggi, menggigil, wajah tampak kemerahan.
b) Mukosa mulut kering, perdarahan gusi, lidah kotor.
c) Tampak bintik merah pada kulit (petekia), uji torniquet (+), epistaksis, ekimosis, hematoma, hematemesis, melena.
d) Hiperemia pada tenggorokan.
e) Nyeri tekan pada epigastrik.
f) Pada palpasi teraba adanya pembesaran hati dan limpa.
g) Pada renjatan (derajat IV) nadi cepat dan lemah, hipotensi, ekstremitas dingin, gelisah, sianosis perifer, nafas dangkal.
Pemeriksaan laboratorium pada DHF akan dijumpai :
a. Ig G dengue positif.
b. Trombositopenia.
c. Hemoglobin meningkat > 20 %.
d. Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat).
e. Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia, hiponatremia, hipokloremia.
Pada hari ke- 2 dan ke- 3 terjadi leukopenia, netropenia, aneosinofilia, peningkatan limfosit, monosit, dan basofil
a. SGOT/SGPT mungkin meningkat.
b. Ureum dan pH darah mungkin meningkat.
c. Waktu perdarahan memanjang.
d. Asidosis metabolik.
e. Pada pemeriksaan urine dijumpai albuminuria ringan.
2. Diagnosa Keperawatan
Beberapa diagnosa keperawatan yang ditemukan pada pasien DHF menurut Christiante Effendy, 1995 yaitu :
1) Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia).
2) Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit.
3) Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.
4) Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding plasma.
5) Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang lemah.
6) Resiko terjadi syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh.
7) Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (pemasangan infus).
8) Resiko terjadi perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia.
9) Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan perdarahan yang dialami pasien.
3. Perencanaan Keperawatan
NO DIAGNOSA TUJUAN/KRITERIA INTERVENSI
1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia). Tujuan :
a. Suhu tubuh normal (36 – 370C).
b. Pasien bebas dari demam. a) Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 3 jam.
b) Anjurkan pasien untuk banyak minum liter/24 jam.
c) Berikan kompres hangat.
d) Anjurkan untuk tidak memakai selimut dan pakaian yang tebal.
e) Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program dokter.
2. Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit Tujuan :
a. Rasa nyaman pasien terpenuhi
b. Nyeri berkurang atau hilang a) Kaji tingkat nyeri yang dialami pasien
b) Berikan posisi yang nyaman, usahakan situasi ruangan yang tenang.
c) Alihkan perhatian pasien dari rasa nyeri.
d) Berikan obat-obat analgetik
3. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan posisi yang diberikan /dibutuhkan.
a) Kaji keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang dialami pasien.
b) Kaji cara / bagaimana makanan dihidangkan.
c) Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur.
d) Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
e) Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari.
f) Berikan obat-obatan antiemetik sesuai program dokter.
4. Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding plasma.
Tujuan :
Volume cairan terpenuhi.
a) Kaji keadaan umum pasien (lemah, pucat, takikardi) serta tanda-tanda vital.
b) Observasi tanda-tanda syock.
c) Berikan cairan intravena sesuai program dokter
d) Anjurkan pasien untuk banyak minum.
e) Catat intake dan output.
5. Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang lemah.
Tujuan :
a. Pasien mampu mandiri setelah bebas demam.
b. Kebutuhan aktivitas sehari-hari terpenuhi
a) Kaji keluhan pasien.
b) Kaji hal-hal yang mampu atau yang tidak mampu dilakukan oleh pasien.
c) Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan aktivitasnya sehari-hari sesuai tingkat keterbatasan pasien.
d) Letakkan barang-barang di tempat yang mudah terjangkau oleh pasien.
6. Resiko terjadinya syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh
Tujuan :
a. Tidak terjadi syok hipovolemik.
b. Tanda-tanda vital dalam batas normal.
c. Keadaan umum baik. a) Monitor keadaan umum pasien
b) Observasi tanda-tanda vital tiap 2 sampai 3 jam.
c) Monitor tanda perdarahan.
d) Chek haemoglobin, hematokrit, trombosit
e) Berikan transfusi sesuai program dokter.
f) Lapor dokter bila tampak syok hipovolemik.
7. Resiko terjadinya perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia Tujuan :
a. Tidak terjadi tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
b. Jumlah trombosit meningkat.
a) Monitor tanda penurunan trombosit yang disertai gejala klinis.
b) Anjurkan pasien untuk banyak istirahat
c) Beri penjelasan untuk segera melapor bila ada tanda perdarahan lebih lanjut.
d) Jelaskan obat yang diberikan dan manfaatnya.
8. Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan perdarahan yang dialami pasien.
Tujuan :
Kecemasan berkurang.
a) Kaji rasa cemas yang dialami pasien.
b) Jalin hubungan saling percaya dengan pasien.
c) Tunjukkan sifat empati
d) Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya
e) Gunakan komunikasi terapeutik
.
4.Implementasi
Pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien anak dengan DHF disesuaikan dengan intervensi yang telah direncanakan.
5.Evaluasi Keperawatan.
Hasil asuhan keperawatan pada klien anak dengan DHF sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi ini didasarkan pada hasil yang diharapkan atau perubahan yang terjadi pada pasien.
Adapun sasaran evaluasi pada pasien demam berdarah dengue sebagai berikut :
a. Suhu tubuh pasien normal (36- 370C), pasien bebas dari demam.
b. Pasien akan mengungkapkan rasa nyeri berkurang.
c. Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan atau dibutuhkan.
d. Keseimbangan cairan akan tetap terjaga dan kebutuhan cairan pada pasien terpenuhi.
e. Aktivitas sehari-hari pasien dapat terpenuhi.
f. Pasien akan mempertahankan sehingga tidak terjadi syok hypovolemik dengan tanda vital dalam batas normal.
g. Infeksi tidak terjadi.
h. Tidak terjadi perdarahan lebih lanjut.
i. Kecemasan pasien akan berkurang dan mendengarkan penjelasan dari perawat tentang proses penyakitnya
DAFTAR PUSTAKA
a. Sunaryo, Soemarno, (1998), Demam Berdarah Pada Anak, UI ; Jakarta.
b. Effendy, Christantie, (1995), Perawatan Pasien DHF, EGC ; Jakarta.
c. Hendarwanto, (1996), Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, edisi ketiga, FKUI ; Jakarta.
d. Doenges, Marilynn E, dkk, (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa Keperawatan, EGC ; Jakarta.
TYPHOID ABDOMINALIS
A. Pengertian
a Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thypi dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid abdominalis, ( Syaifullah Noer, 1998 ).
b Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna, gangguan kesadaran, dan lebih banyak menyerang pada anak usia 12 – 13 tahun ( 70% - 80% ), pada usia 30 - 40 tahun ( 10%-20% ) dan diatas usia pada anak 12-13 tahun sebanyak ( 5%-10% ). (Mansjoer, Arif 1999).
c Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 1 minggu, gangguan pencernaan dan gangguan kesadaran (FKUI. 1999).
B. Etiologi
a Salmonella thyposa, basil gram negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak bersepora mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen yaitu:
• antigen O (somatic, terdiri darizat komplekliopolisakarida)
• antigen H(flagella)
• antigen V1 dan protein membrane hialin.
b Salmonella parathypi A
c salmonella parathypi B
d Salmonella parathypi C
e Faces dan Urin dari penderita thypus (Rahmad Juwono, 1996).
C. Patofisiologi
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses.
Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu.
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia berperan pada patogenesis typhoid, karena membantu proses inflamasi lokal pada usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.
D. Gejala Klinis
Masa tunas 7-14 (rata-rata 3 – 30) hari, selama inkubasi ditemukan gejala prodromal (gejala awal tumbuhnya penyakit/gejala yang tidak khas) :
a Perasaan tidak enak badan
b Lesu
c Nyeri kepala
d Pusing
e Diare
f Anoreksia
g Batuk
h Nyeri otot (Mansjoer, Arif 1999).
Menyusul gejala klinis yang lain
1) DEMAM
Demam berlangsung 3 minggu
a Minggu I : Demam remiten, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan malam hari
b Minggu II : Demam terus
c Minggu III : Demam mulai turun secara berangsur – angsur
2) GANGGUAN PADA SALURAN PENCERNAAN
a Lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai tremor
b Hati dan limpa membesar yang nyeri pada perabaan
c Terdapat konstipasi, diare
3) GANGGUAN KESADARAN
a Kesadaran yaitu apatis – somnolen
b Gejala lain “ROSEOLA” (bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil dalam kapiler kulit) (Rahmad Juwono, 1996).
E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium
a Pemeriksaan darah tepi : dapat ditemukan leukopenia,limfositosis relatif, aneosinofilia, trombositopenia, anemia
b Biakan empedu : basil salmonella typhii ditemukan dalam darah penderita biasanya dalam minggu pertama sakit
c Pemeriksaan WIDAL - Bila terjadi aglutinasi
Diperlukan titer anti bodi 4 kali antara masa 1/200 atau peningkatan terhadap antigen yang bernilai akut dan konvalesene mengarah kepada demam typhoid (Rahmad Juwono, 1996).
F. Penatalaksanaan
Terdiri dari 3 bagian, yaitu :
1. Perawatan
a Tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari.
b Posisi tubuh harus diubah setiap mencegah dekubitus.
c Mobilisasi sesuai kondisi.
2. Diet
a Makanan diberikan secara bertahap sesuai dengan keadaan penyakitnya (mula-mula air-lunak-makanan biasa)
b Makanan mengandung cukup cairan, TKTP.
c Makanan harus menagndung cukup cairan, kalori, dan tinggi protein, tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang maupun menimbulkan banyak gas.
3. Obat
a Antimikroba
1) Kloramfenikol
2) Tiamfenikol
3) Co-trimoksazol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulkametoksazol)
b Obat Symptomatik
1) Antipiretik
2) Kartikosteroid, diberikan pada pasien yang toksik.
3) Supportif : vitamin-vitamin.
4) Penenang : diberikan pada pasien dengan gejala neuroprikiatri (Rahmad Juwono, 1996).
G. Komplikasi
Komplikasi dapat dibagi dalam :
1. Komplikasi intestinal
a Perdarahan usus
b Perforasi usus
c Ileus paralitik
2. Komplikasi ekstra intestinal.
a Kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis) miokarditis, trombosis, dan tromboflebitie.
b Darah : anemia hemolitik, tromboritopenia, sindrom uremia hemolitik
c Paru : pneumoni, empiema, pleuritis.
d Hepar dan kandung empedu : hipertitis dan kolesistitis.
e Ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
f Tulang : oeteomielitis, periostitis, epondilitis, dan arthritis.
g Neuropsikiatrik : delirium, meningiemus, meningitie, polineuritie, perifer, sindrom
h Guillan-Barre, psikosis dan sindrom katatonia.
i Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi sering terjadi pada keadaan tokremia berat dan kelemahan umum, terutama bila perawatan pasien kurang sempurna (Rahmad Juwono, 1996).
H. Pencegahan
1. Usaha terhadap lingkungan hidup :
a Penyediaan air minum yang memenuhi
b Pembuangan kotoran manusia (BAK dan BAB) yang hygiene
c Pemberantasan lalat.
d Pengawasan terhadap rumah-rumah dan penjual makanan.
2. Usaha terhadap manusia.
a Imunisasi
b Pendidikan kesehatan pada masyarakat : hygiene sanitasi personal hygiene. (Mansjoer, Arif 1999).
MANAJEMEN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a Identitas
Didalam identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, no. Registerasi, status perkawinan, agama, pekerjaan, tinggi badan, berat badan, tanggal MR.
b Keluhan Utama
pada pasien Thypoid biasanya mengeluh perut merasa mual dan kembung, nafsu makan menurun, panas dan demam.
1. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit Thypoid, apakah tidak pernah, apakah menderita penyakit lainnya.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada umumnya penyakit pada pasien Thypoid adalah demam, anorexia, mual, muntah, diare, perasaan tidak enak di perut, pucat (anemi), nyeri kepala pusing, nyeri otot, lidah tifoid (kotor), gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah dalam kesehatan keluarga ada yang pernah menderita Thypoid atau sakit yang lainnya.
4. Riwayat Psikososial
Psiko sosial sangat berpengaruh sekali terhadap psikologis pasien, dengan timbul gejala-gejala yang dalami, apakah pasien dapat menerima pada apa yang dideritanya.
5. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola pesepsi dan tatalaksana kesehatan
Perubahan penatalaksanaan kesehatan yang dapat menimbulkan masalah dalam kesehatannya.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Adanya mual dan muntah, penurunan nafsu makan selama sakit, lidah kotor, dan rasa pahit waktu makan sehingga dapat mempengaruhi status nutrisi berubah.
3) Pola aktifitas dan latihan
Pasien akan terganggu aktifitasnya akibat adanya kelemahan fisik serta pasien akan mengalami keterbatasan gerak akibat penyakitnya.
4) Pola tidur dan aktifitas
Kebiasaan tidur pasien akan terganggu dikarenakan suhu badan yang meningkat, sehingga pasien merasa gelisah pada waktu tidur.
5) Pola eliminasi
Kebiasaan dalam buang BAK akan terjadi refensi bila dehidrasi karena panas yang meninggi, konsumsi cairan yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
6) Pola reproduksi dan sexual
Pada pola reproduksi dan sexual pada pasien yang telah atau sudah menikah akan terjadi perubahan.
7) Pola persepsi dan pengetahuan
Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan mempengaruhi pengetahuan dan kemampuan dalam merawat diri.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Didalam perubahan apabila pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah penyakitnya.
9) Pola penanggulangan stress
Stres timbul apabila seorang pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah penyakitnya.
10) Pola hubungan interpersonil
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan interpersonal dan peran serta mengalami tambahan dalam menjalankan perannya selama sakit.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Timbulnya distres dalam spiritual pada pasien, maka pasien akan menjadi cemas dan takut akan kematian, serta kebiasaan ibadahnya akan terganggu.
6. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
Biasanya pada pasien typhoid mengalami badan lemah, panas, puccat, mual, perut tidak enak, anorexia.
2) Kepala dan leher
Kepala tidak ada bernjolan, rambut normal, kelopak mata normal, konjungtiva anemia, mata cowong, muka tidak odema, pucat/bibir kering, lidah kotor, ditepi dan ditengah merah, fungsi pendengran normal leher simetris, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.
3) Dada dan abdomen
Dada normal, bentuk simetris, pola nafas teratur, didaerah abdomen ditemukan nyeri tekan.
4) Sistem respirasi
Apa ada pernafasan normal, tidak ada suara tambahan, dan tidak terdapat cuping hidung.
5) Sistem kardiovaskuler
Biasanya pada pasien dengan typoid yang ditemukan tekanan darah yang meningkat akan tetapi bisa didapatkan tachiardi saat pasien mengalami peningkatan suhu tubuh.
6) Sistem integumen
Kulit bersih, turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak, akral hangat.
7) Sistem eliminasi
Pada pasien typoid kadang-kadang diare atau konstipasi, produk kemih pasien bisa mengalami penurunan (kurang dari normal). N ½ -1 cc/kg BB/jam.
8) Sistem muskuloskolesal
Apakah ada gangguan pada extrimitas atas dan bawah atau tidak ada gangguan.
9) Sistem endokrin
Apakah di dalam penderita thyphoid ada pembesaran kelenjar toroid dan tonsil.
10) Sistem persyarafan
Apakah kesadarn itu penuh atau apatis, somnolen dan koma, dalam penderita penyakit thypoid.
B. Diagnosa keperawatan
1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi Salmonella Typhii
2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan/bedrest.
4. Gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan pengeluaran cairan yang berlebihan (diare/muntah).
C. Intervensi dan Implementasi
NO DIAGNOSA TUJUAN/KRITERIA INTEVENSI
1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi salmonella typhi Tujuan : suhu tubuh normal/terkontrol.
Kriteria hasil :
a Pasien melaporkan peningkatan suhu tubuh
b Mencari pertolongan untuk pencegahan peningkatan suhu tubuh.
c Turgor kulit membaik 1. Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang peningkatan suhu tubuh
2. Anjurkan klien menggunakan pakaian tipis dan menyerap keringat
3. Batasi pengunjung
4. Observasi TTV tiap 4 jam sekali
5. Anjurkan pasien untuk 2,5 liter / 24 jambanyak minum, minum dengan asupan cairan yang banyak
6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian tx antibiotik dan antipiretik
2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia Tujuan : Pasien mampu mempertahankan kebutuhan nutrisi adekuat
Kriteria hasil :
a Nafsu makan meningkat
b Pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan
1. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang manfaat makanan/nutrisi.
2. Timbang berat badan klien setiap 2 hari.
3. Beri nutrisi dengan diet lembek, tidak mengandung banyak serat, tidak merangsang, maupun menimbulkan banyak gas dan dihidangkan saat masih hangat.
4. Beri makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
5. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antasida dan nutrisi parenteral.
3. . Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan/bed rest
Tujuan : pasien bisa melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) optimal.
Kriteria hasil :
a Kebutuhan personal terpenuhi
b Dapat melakukan gerakkan yang bermanfaat bagi tubuh.
c Memenuhi AKS dengan teknik penghematan energi 1. Beri motivasi pada pasien dan kelurga untuk melakukan mobilisasi sebatas kemampuan (missal. Miring kanan, miring kiri).
2. Kaji kemampuan pasien dalam beraktivitas (makan, minum).
3. Dekatkan keperluan pasien dalam jangkauannya.
4. Berikan latihan mobilisasi secara bertahap sesudah demam hilang.
4. Gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan cairan yang berlebihan (diare/muntah)
Tujuan : tidak terjadi gangguan keseimbangan cairan
Kriteria hasil :
a Turgor kulit meningkat
b Wajah tidak nampak pucat
1. Berikan penjelasan tentang pentingnya kebutuhan cairan pada pasien dan keluarga.
2. Observasi pemasukan dan pengeluaran cairan.
3. Anjurkan pasien untuk banyak minum 2,5 liter / 24 jam
4. Observasi kelancaran tetesan infuse.
Kolaborasi dengan dokter untuk terapi cairan (oral / parenteral).
D. Evaluasi
Dari hasil intervensi yang telah tertulis, evaluasi yang diharapkan :
a Dx : peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi salmonella typhii
Evaluasi : suhu tubuh normal (36 o C) atau terkontrol.
b Dx : gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia.
Evaluasi : Pasien mampu mempertahankan kebutuhan nutrisi adekuat.
c Dx : intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan/bedrest
Evaluasi : pasien bisa melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) optimal.
d Dx : gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan pengeluaran cairan yang berlebihan (diare/muntah)
Evaluasi : kebutuhan cairan terpenuhi
DAFTAR PUSTAKA
Dangoes Marilyn E. 1993. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. EGC, Jakarta.
Lynda Juall, 2000, Diagnosa Keperawatan, EGC, Jakarta.
Mansjoer, Arif 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Media Aesculapis, Jakarta.
Rahmad Juwono, 1996, Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3, FKUI, Jakarta.
Sjaifoellah Noer, 1998, Standar Perawatan Pasien, Monica Ester, Jakarta.
ASUHAN KEPERAWATAN TUBERKULOSIS PARU (TB PARU)
A. Pengertian
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman batang tanhan asam ini dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit. Ada beberapa mikrobakteria patogen , tettapi hanya strain bovin dan human yang patogenik terhadap manusia. Basil tuberkel ini berukuran 0,3 x 2 sampai 4 μm, ukuran ini lebih kecil dari satu sel darah merah.
B. Etiologi
Penyebabnya adalah kuman microorganisme yaitu mycobacterium tuberkulosis dengan ukuran panjang 1 – 4 um dan tebal 1,3 – 0,6 um, termasuk golongan bakteri aerob gram positif serta tahan asam atau basil tahan asam.
C. Patofisiologi
Penularan terjadi karena kuman dibatukan atau dibersinkan keluar menjadi droflet nuklei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1 – 2 jam, tergantung ada atau tidaknya sinar ultra violet. dan ventilasi yang baik dan kelembaban.
Dalam suasana yang gelap dan lembab kuman dapat bertahan sampai berhari – hari bahkan berbulan, bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang yang sehat akan menempel pada alveoli kemudian partikel ini akan berkembang bisa sampai puncak apeks paru sebelah kanan atau kiri dan dapat pula keduanya dengan melewati pembuluh linfe, basil berpindah kebagian paru – paru yang lain atau jaringan tubuh yang lain.
Setelah itu infeksi akan menyebar melalui sirkulasi, yang pertama terangsang adalah limfokinase, yaitu akan dibentuk lebih banyak untuk merangsang macrofage, berkurang tidaknya jumlah kuman tergantung pada jumlah macrofage. Karena fungsinya adalah membunuh kuman / basil apabila proses ini berhasil & macrofage lebih banyak maka klien akan sembuh dan daya tahan tubuhnya akan meningkat.
Tetapi apabila kekebalan tubuhnya menurun maka kuman tadi akan bersarang didalam jaringan paru-paru dengan membentuk tuberkel (biji – biji kecil sebesar kepala jarum).
Tuberkel lama kelamaan akan bertambah besar dan bergabung menjadi satu dan lama-lama timbul perkejuan ditempat tersebut.apabila jaringan yang nekrosis dikeluarkan saat penderita batuk yang menyebabkan pembuluh darah pecah, maka klien akan batuk darah (hemaptoe).
D. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala pada klien secara obyektif adalah :
a Keadaan postur tubuh klien yang tampak etrangkat kedua bahunya.
b BB klien biasanya menurun; agak kurus.
c Demam, dengan suhu tubuh bisa mencapai 40 – 41° C.
d Batu lama, > 1 bulan atau adanya batuk kronis.
e Batuk yang kadang disertai hemaptoe.
f Sesak nafas.
g Nyeri dada.
h Malaise, (anorexia, nafsu makan menurun, sakit kepala, nyeri otot, berkeringat pada malam hari).
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Kultur sputum : positif untuk mycobakterium pada tahap akhir penyakit.
2. Ziehl Neelsen : (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan darah) positif untuk basil asam cepat.
3. Test kulit : (PPD, Mantoux, potongan vollmer) ; reaksi positif (area durasi 10 mm) terjadi 48 – 72 jam setelah injeksi intra dermal. Antigen menunjukan infeksi masa lalu dan adanya anti body tetapi tidak secara berarti menunjukan penyakit aktif. Reaksi bermakna pada pasien yang secara klinik sakit berarti bahwa TB aktif tidak dapat diturunkan atau infeksi disebabkan oleh mycobacterium yang berbeda.
4. Elisa / Western Blot : dapat menyatakan adanya HIV.
5. Foto thorax ; dapat menunjukan infiltrsi lesi awal pada area paru atas, simpanan kalsium lesi sembuh primer atau efusi cairan, perubahan menunjukan lebih luas TB dapat masuk rongga area fibrosa.
6. Histologi atau kultur jaringan ( termasuk pembersihan gaster ; urien dan cairan serebrospinal, biopsi kulit ) positif untuk mycobakterium tubrerkulosis.
7. Biopsi jarum pada jarinagn paru ; positif untuk granula TB ; adanya sel raksasa menunjukan nekrosis.
8. Elektrosit, dapat tidak normal tergantung lokasi dan bertanya infeksi ; ex Hyponaremia, karena retensi air tidak normal, didapat pada TB paru luas. GDA dapat tidak normal tergantung lokasi, berat dan kerusakan sisa pada paru.
9. Pemeriksaan fungsi pada paru ; penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang mati, peningkatan rasio udara resido dan kapasitas paru total dan penurunan saturasi oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkhim / fibrosis, kehilangan jaringan paru dan penyakit pleural (TB paru kronis luas).
F. Penatalaksanaan
Dalam pengobatan TB paru dibagi 2 bagian :
1. Jangka pendek.
Dengan tata cara pengobatan : setiap hari dengan jangka waktu 1 – 3 bulan.
a Streptomisin inj 750 mg.
b Pas 10 mg.
c Ethambutol 1000 mg.
d Isoniazid 400 mg
2. Kemudian dilanjutkan dengan jangka panjang, tata cara pengobatannya adalah setiap 2 x seminggu, selama 13 – 18 bulan, tetapi setelah perkembangan pengobatan ditemukan terapi.
Therapi TB paru dapat dilakukan dengan minum obat saja, obat yang diberikan dengan jenis :
a INH.
b Rifampicin.
c Ethambutol.
Dengan fase selama 2 x seminggu, dengan lama pengobatan kesembuhan menjadi 6-9 bulan.
Bila menggunakan obat program TB paru kombipack bila ditemukan dalam pemeriksan sputum BTA ( + ) dengan kombinasi obat :
a Rifampicin.
b Isoniazid (INH).
c Ethambutol.
d Pyridoxin (B6).
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TUBERKULOSIS PARU
(TB PARU)
A. Pengkajian
1. Aktivitas / istirahat.
Gejala :
a Kelelahan umum dan kelemahan.
b Nafas pendek karena bekerja.
c Kesulitan tidur pada malam atau demam pada malam hari, menggigil dan atau berkeringat.
d Mimpi buruk.
Tanda :
a Takhikardi, tachipnoe, / dispnoe pada kerja.
b Kelelahan otot, nyeri dan sesak (pada tahap lanjut).
2. Integritas Ego.
Gejala :
a Adanya faktor stres lama.
b Masalah keuanagan, rumah.
c Perasaan tak berdaya / tak ada harapan.
d Populasi budaya.
Tanda :
a Menyangkal. (khususnya selama tahap dini).
b Ancietas, ketakutan, mudah tersinggung.
3. Makanan / cairan.
Gejala :
a Anorexia.
b Tidak dapat mencerna makanan.
c Penurunan BB.
Tanda :
a Turgor kulit buruk.
b Kehilangan lemak subkutan pada otot.
4. Nyeri / kenyamanan.
Gejala :
a Nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
Tanda :
b Berhati-hati pada area yang sakit.
c Perilaku distraksi, gelisah.
5. Pernafasan.
Gejala :
a Batuk produktif atau tidak produktif.
b Nafas pendek.
c Riwayat tuberkulosis / terpajan pada individu terinjeksi.
Tanda :
a Peningkatan frekuensi nafas.
b Pengembangan pernafasan tak simetris.
c Perkusi dan penurunan fremitus vokal, bunyi nafas menurun tak secara bilateral atau unilateral (effusi pleura / pneomothorax) bunyi nafas tubuler dan / atau bisikan pektoral diatas lesi luas, krekels tercatat diatas apeks paru selam inspirasi cepat setelah batuk pendek (krekels – posttusic).
d Karakteristik sputum ; hijau purulen, mukoid kuning atau bercampur darah.
e Deviasi trakeal ( penyebaran bronkogenik ).
f Tak perhatian, mudah terangsang yang nyata, perubahan mental ( tahap lanjut ).
6. Keamanan.
Gejala :
a Adanya kondisi penekana imun, contoh ; AIDS, kanker, tes HIV positif (+)
Tanda :
a Demam rendah atau sakit panas akut.
7. Interaksi sosial.
Gejala :
a. Perasaan isolasi / penolakan karena penyakit menular.
b. Perubahan pola biasa dalam tangguang jaawab / perubahan kapasitas fisik untuk melaksankan peran.
8. Penyuluhan / pembelajaran.
Gejala :
a. Riwayat keluarga TB.
b. Ketidakmampuan umum / status kesehatan buruk.
c. Gagal untuk membaik / kambuhnya TB.
d. Tidak berpartisipasi dalam therapy.
B. Diagnosa keperawatan Yang Muncul
1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental/darah.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolar-kapiler.
C. Intervensi
NO DIAGNOSA TUJUAN/KRITERIA INTEVENSI
1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental/darah.
Tujuan : Kebersihan jalan napas efektif.
Kriteria hasil :
a. Mencari posisi yang nyaman yang memudahkan peningkatan pertukaran udara.
b. Mendemontrasikan batuk efektif.
c. Menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi. 1) Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. Pernapasan
2) Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
3) Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
4) Lakukan pernapasan diafragma.
Tahan napas selama 3 – 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut. Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat
5) Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk
6) Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi
7) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter : pemberian expectoran, pemberian antibiotika, konsul photo toraks
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolar-kapiler.
Tujuan : Pertukaran gas efektif.
Kriteria hasil
a. Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif.
b. Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
c. Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab. 1) Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit.
2) Dorong klien untuk duduk sebanyak m
3) Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
ungkin
4) Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
5) Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dengan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
6) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter : pemberian antibiotika, pemeriksaan sputum dan kultur sputum, konsul photo toraks.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges. E. Marylin. 1992.Nursing Care Plan. EGC. Jakarta.
Pearce. C. Evelyn. 1990.Anatomi dan Fisiologi untuk paramedis. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar